Cinta Part 1
Dara
Aku melihat wanita cantik didepanku. Dia sangat anggun dan berbicara dengan intonasi yang lemah lembut. Siapa laki-laki yang tidak akan jatuh cinta padanya? Aku sudah mengulangi pertanyaan itu berpuluh-puluh kali. Rambutnya di kuncir ekor kuda. Wajahnya oval dan berkulit kuning langsat. Bajunya terlihat berkelas. Aku sejenak merasa sangat minder dengan cara berpakaianku.
Dia menyeruput espresso cepat lalu meletakkannya kembali di meja. Cukup memberikan indikasi bahwa dia tidak cemas, grogi atau tegang atau perasaan lain dalam menghadapiku.
“Apa maksud kamu melakukan ini?”
Aku tertegun mendengar suaranya. Aku berpikir sebentar, mencoba menimbang dan memilih kata-kata yang netral. “Mbak pasti bisa mengira semuanya. Tidak ada alasan yang lain,” ujarku menahan suaraku agar tidak bergetar.
Dia tetap cantik meskipun dengan mata basah yang sudah membuat hatiku sendiri teriris-iris. Aku membisikkan kata maaf berkali-kali dalam hatiku. Setulus mungkin. Dan berharap perasaanku juga tersampaikan meski tak terucapkan.
Aku menggenggam tanganku sendiri di atas paha. Tanganku berkeringat.
Kulihat dia menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. “Apa kamu sudah memikirkan konsekuensinya?”
“Saya sudah cukup lama berpikir soal ini,” jawabku mantap.
Kekuatan hatiku membuat matanya berair. Aku spontan meneteskan air mata. Hatiku sakit. Sakit karena menyakiti hati perempuan ini.
Nova
Mataku buram karena air mata. Kuputuskan untuk menepikan mobil dan menangis. Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk menghentikan semuanya. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan hal ini.
Apa salahku Tuhan?
Hujan mengguyur dengan kejam. Sepertinya langit mengerti suasana hatiku yang buruk dan ingin ikut menangis.
Mengingat pertemuan tadi berhasil membuatku sangat marah. Marah besar. Berani-beraninya dia menemuiku sesantai itu dan setenang itu. Air mata macam apa yang keluar dari orang yang berhati batu? Air mata palsu.
Aku kembali menyusuri jalanan dengan cepat. Aku ingin cepat-cepat berada di rumah. Minum teh chamomile yang biasa kuminum saat banyak tekanan pekerjaan. Aku teringat Isya yang pasti sedang les piano. Hatiku tiba-tiba tercabik-cabik. Bagaimana dengan nasib Isya? Dia sangat perasa dan mungkin dia akan merasakan kalau hatiku sedang tidak baik. Mood ku sekarang jatuh ke titik minus.
Sialan!
Dara
Apa aku salah? tanyaku berulang kali dikamar kosku. Kalau memang Adri ditakdirkan untuk menikah dengan Nova yang wajahnya mirip aku. Lalu cinta yang diberi Tuhan padaku, bisakah disebut takdir juga? Kalau Adri memang bukan yang terbaik buat aku dan orang yang salah. Kenapa aku masih merasakan cinta buat dia? Kenapa aku harus bertemu dengan dia setelah bertahun-tahun kita berpisah? Apa ini juga bisa disebut takdir dari Tuhan? Apa pertemuan ini diatur agar aku sengsara? Atau agar aku bahagia? Sekarang aku seperti ini. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab akan apa yang terjadi pada diriku? Pada hatiku? Aku mencoba memikirkan hal ini kembali. Seteliti mungkin menimbang perasaan orang lain. Tanpa ada yang tersakiti.
“Masuk aja,” kataku saat mendengar ketukan di balik pintu.
Sosoknya muncul dan membuatku sangat kaget. Aku langsung berdiri dengan tergesa-gesa. Aku hanya berdiri tertegun dan merasa sangat kecil. Dia menghampiriku dan serta merta menampar pipiku keras.
Bibirku terbuka perlahan sambil menatap wanita itu dengan tatapan tidak percaya. “Kamu tidak hanya pantas mendapatkan sebuah tamparan.”
Aku menelan ludah dengan susah payah. Saat wanita itu menghilang, aku terduduk di lantai sambil menangis.
Comments
Post a Comment