Gosip, antara pemberi bahan gosip dan tanggung jawab moral
Semua orang tua pasti mulai mengeluhkan betapa kebebasan pergaulan zaman sekarang sulit dibendung. Cara bergaul dan berpacaran remaja sekarang memang patut diberi perhatian bagi para orang tua. Sulit sebenarnya mengontrol anak sendiri, apalagi sifat dan sikap mereka yang masih dalam masa peralihan dari anak-anak ke manusia dewasa. Dan bahkan usia yang di atas 20 atau bahkan lebih pun terkadang memiliki sifat dan sikap yang labil.
Saya ingat satu quote dari Mario Teguh yang mengatakan bahwa pada saat kita jatuh cinta pada seseorang, kita sering kali jatuh cinta padanya sebagai sosok kekasih sebagai mana yang kita inginkan terbentuk. Namun yang seharusnya kita jatuhi cinta adalah konsep diri lawan jenis kita sebagai mana dia sebagai dirinya sendiri. Kurang lebih begitu. Saya sangat setuju dengan perkataan itu. Kita sering tidak menggunakan akal dan logika untuk menentukan sikap dan mempertimbangkan cinta. Dan ditambahkan oleh Mario Teguh, itulah mengapa orang yang jatuh cinta sulit menerima nasihat dan kritik.
Saya sangat setuju dengan dengan itu. Saat kita jatuh cinta dan memilih seseorang untuk dicintai kadang kita lupa bahwa kita harus mengenal orang itu senyata dan sejujur-jujurnya tanpa ada yang dipalsukan. Saya tidak akan mengkritik tipe seperti apa yang disukai oleh adik saya, mama saya atau siapapun selama kekurangan dari pasangan mereka masih dalam batas toleransi agama dan norma masyarakat. Yang akan saya kritik adalah apabila ada sesuatu hal yang terasa tidak tepat. Sama ketika saya akan mengajukan perjanjian pranikah apabila mama saya menemukan orang yang tepat untuk dinikahi. Anda boleh bilang saya berpikir soal harta. Dan memang benar kalau harta itu penting. Karena uang sangat mudah memicu perpecahan antar keluarga. Maka dari itu saya ingin ada perjanjian pranikah.
Percayalah semua berangkat dari niat baik. Sama ketika saya menyarankan pada adik saya untuk membatasi waktu bertemu dengan pacarnya. Pembatasan itu berguna untuk menjaga banyak hal. Meskipun keluar bareng dan jalan-jalan ke mall yang itu notabene adalah ruang publik. Semua tetap ada batasan normal, meskipun sekali lagi batasan normal setiap orang berbeda-beda.
Saya tidak peduli omongan orang. Saya tidak peduli orang-orang dan tetangga saya menganggap kami sekeluarga sebagai bahan gosip yang menyenangkan. Percayalah saya tidak peduli. Para tetangga akan membuat bahan obrolan kalau kita yang bertempat sebagai objek memberikan bahan omongan pada mereka. Kita sebagai manusia tetap harus bertanggung jawab pada apa yang kita lakukan. Saya hanya tidak mau saya, adik saya, mama saya atau keluarga saya memberikan bahan gosip pada penggosip yang sudah ditakdirkan ada di sekitar kita. Misalnya saja, saya memang resmi resign dari perusahaan sebelumnya dan sampai sekarang belum mendapatkan penggantinya. Meskipun saya mati-matian menegaskan bahwa saya ingin berwirausaha. Mama saya tetap selalu menginginkan saya untuk bekerja di kantor yang akan memperlihatkan pada tetangga, bahwa saya bekerja dari jam 8 dan pulang jam 5 sore. Saya tahu ini semacam penegasan atau mungkin statement yang diinginkan mama saya untuk dijadikan bahan obrolan oleh tetangga saya. Namun saya memilih untuk tetap menempuh jalan yang saya inginkan. Karena saya rasa topic obrolan ‘saya menjadi pengangguran’ adalah bukan hal memalukan dan buruk. Dan saya tidak bisa menyalahkan mereka karena hal itu. Jadi wajar sekali, bila pada saat saya belum bekerja dan saya digosipkan sebagai pengangguran. Saya bisa terima ini sebagai fakta.
Yang berbeda adalah bila, katakana saja saya sudah punya pacar. Dan saya punya frekuensi bertemu pacar saya cukup tinggi. Atau katakanlah saya menghabiskan waktu bersama pacar saya sehari penuh di rumah. Benar bila mama saya tidak melarang saya berpacaran. Tapi frekuensi pacaran yang wajarlah yang diinginkan mama saya sesungguhnya. Itu hanya contoh. Dari kasus ini wajar bila orang-orang membicarakan bahwa saya punya pacar. Namun yang saya tidak inginkan adalah ada tambahan di belakang kalimat itu. Misalnya ‘dia sering keluar bareng’ atau ‘kalau pacaran kadang tidak tahu waktu dan batas’. Ini yang saya hindari.
Saya punya pacar = fakta
Saya berpacaran tidak tahu waktu dan tempat dan batas = belum tentu.
Ketidakpastian inilah yang mengundang orang untuk membicarakan perilaku kita yang berujung pada keburukan-keburukan kita. Fakta itu boleh menjadi urusan kita. Namun pembicaraan lainnya yang bukan fakta biarkan menjadi urusan si penggosip dan Tuhan. Tetapi kita tetap punya tanggung jawab sebagai manusia untuk tidak memberikan ‘topik hangat’ untuk dibicarakan. Karena membicarakan, berdiskusi dan menggosip adalah hal yang sangat manusiawi. Jadi menurut saya berikanlah perilaku terbaik kita saat kita punya pasangan. Karena yang sering dilupakan orang saat menjalin hubungan adalah menjaga kehormatan diri dan keluarga.
Saya ingat satu quote dari Mario Teguh yang mengatakan bahwa pada saat kita jatuh cinta pada seseorang, kita sering kali jatuh cinta padanya sebagai sosok kekasih sebagai mana yang kita inginkan terbentuk. Namun yang seharusnya kita jatuhi cinta adalah konsep diri lawan jenis kita sebagai mana dia sebagai dirinya sendiri. Kurang lebih begitu. Saya sangat setuju dengan perkataan itu. Kita sering tidak menggunakan akal dan logika untuk menentukan sikap dan mempertimbangkan cinta. Dan ditambahkan oleh Mario Teguh, itulah mengapa orang yang jatuh cinta sulit menerima nasihat dan kritik.
Saya sangat setuju dengan dengan itu. Saat kita jatuh cinta dan memilih seseorang untuk dicintai kadang kita lupa bahwa kita harus mengenal orang itu senyata dan sejujur-jujurnya tanpa ada yang dipalsukan. Saya tidak akan mengkritik tipe seperti apa yang disukai oleh adik saya, mama saya atau siapapun selama kekurangan dari pasangan mereka masih dalam batas toleransi agama dan norma masyarakat. Yang akan saya kritik adalah apabila ada sesuatu hal yang terasa tidak tepat. Sama ketika saya akan mengajukan perjanjian pranikah apabila mama saya menemukan orang yang tepat untuk dinikahi. Anda boleh bilang saya berpikir soal harta. Dan memang benar kalau harta itu penting. Karena uang sangat mudah memicu perpecahan antar keluarga. Maka dari itu saya ingin ada perjanjian pranikah.
Percayalah semua berangkat dari niat baik. Sama ketika saya menyarankan pada adik saya untuk membatasi waktu bertemu dengan pacarnya. Pembatasan itu berguna untuk menjaga banyak hal. Meskipun keluar bareng dan jalan-jalan ke mall yang itu notabene adalah ruang publik. Semua tetap ada batasan normal, meskipun sekali lagi batasan normal setiap orang berbeda-beda.
Saya tidak peduli omongan orang. Saya tidak peduli orang-orang dan tetangga saya menganggap kami sekeluarga sebagai bahan gosip yang menyenangkan. Percayalah saya tidak peduli. Para tetangga akan membuat bahan obrolan kalau kita yang bertempat sebagai objek memberikan bahan omongan pada mereka. Kita sebagai manusia tetap harus bertanggung jawab pada apa yang kita lakukan. Saya hanya tidak mau saya, adik saya, mama saya atau keluarga saya memberikan bahan gosip pada penggosip yang sudah ditakdirkan ada di sekitar kita. Misalnya saja, saya memang resmi resign dari perusahaan sebelumnya dan sampai sekarang belum mendapatkan penggantinya. Meskipun saya mati-matian menegaskan bahwa saya ingin berwirausaha. Mama saya tetap selalu menginginkan saya untuk bekerja di kantor yang akan memperlihatkan pada tetangga, bahwa saya bekerja dari jam 8 dan pulang jam 5 sore. Saya tahu ini semacam penegasan atau mungkin statement yang diinginkan mama saya untuk dijadikan bahan obrolan oleh tetangga saya. Namun saya memilih untuk tetap menempuh jalan yang saya inginkan. Karena saya rasa topic obrolan ‘saya menjadi pengangguran’ adalah bukan hal memalukan dan buruk. Dan saya tidak bisa menyalahkan mereka karena hal itu. Jadi wajar sekali, bila pada saat saya belum bekerja dan saya digosipkan sebagai pengangguran. Saya bisa terima ini sebagai fakta.
Yang berbeda adalah bila, katakana saja saya sudah punya pacar. Dan saya punya frekuensi bertemu pacar saya cukup tinggi. Atau katakanlah saya menghabiskan waktu bersama pacar saya sehari penuh di rumah. Benar bila mama saya tidak melarang saya berpacaran. Tapi frekuensi pacaran yang wajarlah yang diinginkan mama saya sesungguhnya. Itu hanya contoh. Dari kasus ini wajar bila orang-orang membicarakan bahwa saya punya pacar. Namun yang saya tidak inginkan adalah ada tambahan di belakang kalimat itu. Misalnya ‘dia sering keluar bareng’ atau ‘kalau pacaran kadang tidak tahu waktu dan batas’. Ini yang saya hindari.
Saya punya pacar = fakta
Saya berpacaran tidak tahu waktu dan tempat dan batas = belum tentu.
Ketidakpastian inilah yang mengundang orang untuk membicarakan perilaku kita yang berujung pada keburukan-keburukan kita. Fakta itu boleh menjadi urusan kita. Namun pembicaraan lainnya yang bukan fakta biarkan menjadi urusan si penggosip dan Tuhan. Tetapi kita tetap punya tanggung jawab sebagai manusia untuk tidak memberikan ‘topik hangat’ untuk dibicarakan. Karena membicarakan, berdiskusi dan menggosip adalah hal yang sangat manusiawi. Jadi menurut saya berikanlah perilaku terbaik kita saat kita punya pasangan. Karena yang sering dilupakan orang saat menjalin hubungan adalah menjaga kehormatan diri dan keluarga.
Comments
Post a Comment