Perempuan itu

Perempuan itu berdiri memandang ke depan. Ia menegakkan punggungnya. Menaikkan dagunya. Memasang senyum terindah dan paling tulus yang bisa ia tunjukkan. Tidak seorangpun tahu bahwa ia sudah menahan napas sejak beberapa menit yang lalu. Seorang kawan menggandeng lengannya dan mengajaknya berjalan mendekati sekumpulan wajah-wajah yang ia kenal.

Tawa yang ia latih. Senyum yang ia latih, berhasil ia lakukan dengan baik. Ia yakin itu karena tidak ada satu orangpun yang berani membuka mulut dan bertanya. Atau mungkin mereka tidak berani bertanya, batinnya.

Senda gurau dan tawa saling bersautan. Sekejap, mungkin sedetik, ia berhasil menghapus pikiran-pikiran dan kesakitan hatinya. Berada disini, di tengah ratusan orang, ia tahu ia merasa hampa dan sedih. Mungkin merana lebih tepatnya. Ia ingin segera meninggalkan tempat ini dan tidur di tempat tidurnya.

Kedua lengannya diapit oleh teman-temannya. Dengan tawa yang suka ria, perempuan itu berjalan menuju nerakanya. Neraka hatinya. Langkah kakinya berat. Ia tahu ia sengaja mengulur waktu dan berjalan lambat. Selambat mungkin. Seolah ia akan menemui ajalnya dalam beberapa detik lagi.

Perempuan itu menarik napas dalam, melatih otot pipinya yang seketika kaku, mengerjapkan matanya ingin menunjukkan binar bahagia yang tulus. Ia menahan napasnya atau sengaja tertahan ditenggorokan, ia tidak tahu. Yang ia tahu seluruh sistem ditubuhnya menjadi aneh.

Ia merasakan setiap pasang mata di gedung itu menatap punggungnya sama seperti beberapa pasang mata yang ada didepannya kini. Berjuta keinginan untuk menundukkan kepala dan berjalan menjauh, namun ia tetap mengangkat dagu dan tersenyum. Entah senyum paling jelek yang pernah ia pasang diwajahnya atau bukan.

Perempuan itu menahan diri ketika berdiri tepat didepan laki-laki itu. Laki-laki yang kini memakai pakaian adat daerah asalnya. Mereka bertatapan mata sedetik dua detik tiga detik. Lalu perempuan itu mengulurkan tangannya yang disambut oleh laki-laki itu. Mata perempuan itu tak lagi berani terangkat. Wajahnya menunduk menyembunyikan emosi yang berkecamuk. Pandangan matanya menangkap lengan yang terkait di lengan laki-laki itu.

Dengan keberanian yang tersisa dan senyum terakhir yang ia bisa sisakan untuk malam ini, ia mengangkat dagunya sambil berkata, “Happy wedding yah.”

Laki-laki itu tak tersenyum.

Perempuan itu tersenyum.

Menarik napas sekali lagi dan pergi. Ia pergi meninggalkan semuanya disini. Detik ini. Karena ia sesungguhnya mati. Ia hancur. Untuk detik ini, ia hanyalah tubuh tak berjiwa. Ia menikam hatinya sendiri dengan hadir di pesta pernikahan ini.

***      

“Kalau aku nikah kamu harus dateng yah,” ucap perempuan itu.

“Iya, kalau aku nikah, kamu juga harus dateng,” kata laki-laki itu.

“Janji yah?”

Laki-laki itu memandang perempuan didepannya, “Iya. Aku kasih amplop isi 20ribu terus aku tulis ‘go to hell’.”