Me and What I've done
Mungkin bukan keberuntungan masing-masing orang untuk mendapatkan orangtua yang pengertian dan penyayang atau yang disebut sebagai orangtua ideal. Ideal yang aku tak tahu bentuknya karena terlalu absurb dan abstrak. Ideal ada dalam pikiran masing-masing individu yang tak dapat tersentuh oleh indera namun bisa disentuh dengan hati.
Orangtuaku adalah orangtua tunggal yang amat sangat tegar dibandingkan dengan jutaan ibu di dunia ini. ibuku membesarkan aku dan kedua adikku selama lebih dari 10 tahun by her self. Amazing. Tak sedikit orang memuji, bersimpati dan membantu kami dengan sedikit rejeki. Semakin lama aku semakin bangga memiliki ibu seperti mamaku.
Demikian bangganya aku hingga aku dengan pasti akan rela mati demi ibu dan adik-adikku asalkan itu demi kebahagiaan mereka. Aku cinta pada keluargaku. Amat sangat cinta. Sehingga aku juga sudah berjanji tidak akan mendahulukan kepentinganku bila mereka belum mendapatkan apa yang sesuai dengan hati mereka. Aku pernah mengatakan juga kalau aku memilih tidak menikah agar dapat memfokuskan diriku untuk keluarga. Pengabdianku yang terbesar adalah untuk keluargaku. Mamaku dan adik-adikku. Boleh jadi itu sindrom anak pertama sebagai pemegang tanggung jawab. Di tengah berkembangnya dunia yang semakin kejam dan jauh dari kemurahan hati.
Aku tidak puas dengan keadaanku sekarang dan tak ingin nanti pada saat mamaku tua, keadaan ini belum berubah. Aku mengambil keputusan besar ini memang ingin membahagiakan semua orang. Apalagi konsep bahagia untuk semua orang sudah kuakui sebagai kebohongan besar. Jadi kebahagian untuk seluruh anggota keluarga itu tidak ada. Bahagia bisa tercapai asal ada yang mau berkorban. Itu mutlak adanya. Namun pengorbanan itu dilakukan dengan ikhlas dan murah hati mungkin akan sampai pada tahap pasrah. Itu saja. Tidak akan mencapai bahagia.
Waktu terus berjalan dan menanamkan konsep-konsep yang sama sekali baru. Itulah gunanya hidup. Ada perubahan di dalamnya. Merubah dan mengganti serta memperbaharui konsep yang telah tertanam dalam hati. Banyak konsep kehidupan yang dipilih. Prinsip yang dipegang. Namun hari ini, dimana aku sampai pada titik yang bilamana harus kuukur, aku tidak tahu seberapa dalam aku telah jatuh melewati segala macam terjal. Hari dimana aku masih pasrah mengikuti aliran air yang tenang. Sabegitu tenangnya hingga aku merasa tidak ada kehidupan di dalamnya. Tidak ada ikan, tidak ada tumbuhan air.
Pujian dan sebagainya yang dilontarkan oleh orang-orang terasa bagai madu yang mencekik dan mengancamku (mungkin juga adik-adikku). Ibuku berubah menjadi monster yang mencoba menuntut apapun. Segalanya harus sesuai. Aku sampai lupa bagaimana cinta itu dibentuk. Kalau cinta itu agung, bukankah cinta juga tidak seharusnya egois dan memaksakan. Bukankah saat cinta itu datang kita merasa bebas. Bebas menjadi seorang individu. Dan aku kehilangan substansiku menjadi makhluk hidup. Aku kehilangan diriku sendiri di dalam rumahku. Tempat dimana aku harus belajar menyusun kehidupan yang berkualitas. Cacian dan makian membentukku dengan tangannya yang kasar. Sama dengan tanah liat yang dibentuk untuk menjadi guci.
Sayangnya aku mencari pembelajaran itu di luar rumah. Aku mencoba belajar apa sebenarnya hidup itu. Namun aku tetap berbangga menjadi bagian dari ibuku. Sebuah keluarga yang amat kuat pertaliannya, kepatuhannya terhadap agama, kesantunan dan kepintarannya di tengah masyarakat yang munafik ini. dalam hati aku perlahan mencoba membandingkan dengan temanku. Aku percaya bahwa kehidupanku jauh-jauh lebih baik dari mereka.
Takdir membiarkanku tumbuh menjadi orang yang terbiasa dengan uang dan kekayaan. Hampir semua temanku (menurutku) orang kaya. Aku menyesuaikan diri dan untungnya kehidupan ekonomi keluarga makin lama makin baik. Jangan melihatku sebagai anak manja dan bergelimang harta. Aku juga dekat dengan kesengsaraan. Aku mempelajarinya dari mengumpulkan kepingan hidupku dengan bekerja. Dan aku akui itu berat. Namun uang tidak banyak memberiku ajaran-ajaran yang berarti.
Saat mataku mulai berat dan semua mengumpul di dalam hati. Aku merasakan hatiku berat dan busuk. Sampai aku merasa aku tidak mampu melakukan apapun. Aku lumpuh. Dan aku pasrah.
Kehidupanku ini mulai berriak saat ibuku mulai dekat dengan seseorang. Aku murka. Jelas. Hingga sampai pada hari ini. hari dimana aku menulis. Menulis kesombongan dan kecongkakan para manusia dewasa yang mengungkit segala kebaikan yang telah ia lakukan. Apa yang bisa kulakukan? Aku manusia yang masih beranjak dewasa. Yang masih membutuhkan dukungan manusia dewasa untuk hidup. Lalu saat manusia dewasa dengan harga diri tinggi memutuskan untuk tidak peduli lagi. Apa yang bisa kulakukan? Aku memang tidak bisa sepenuhnya menjamin bahwa aku tidak akan berbuat seperti halnya ibuku. Tapi aku bisa berusaha menepati janji untuk tidak memperlakukan anak-anakku kelak seperti itu.
Aku ingin melampiaskannya. Berteriak pada hidup dan pada takdir. Apa yang telah mereka lakukan padaku. Permainan apa yang telah terjadi ini membenturkanku pada kehampaan. Aku sadar selama ini impianku melemah. Impianku menemukan jati diriku memudar saat mengingat konsep kebahagiaan itu. Aku harus menenggelamkannya di lautan racun sosial masyarakat yang selalu menjadi tolak ukur. Kenapa orang lain harus selalu ikut campur? Tidakkah mereka memiliki masalah sendiri? Aku lelah. Tapi aku tahu adikku lebih lelah dari pada aku. Aku tahu mereka mengubur semuanya dalam hati. Akankah kubiarkan mereka bebas dari penjara ini. dan kubiarkan diriku masuk ke dalamnya. Dalam tembok putih tinggi tak berindera ini.
Ini bukan pertama kalinya aku ingin pergi dari rumah dan ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar berniat untuk mengakhiri hidupku sendiri. Untung saja aku masih cukup waras. Aku tidak boleh menyerah aku harus terus berjuang. Berjuang sampai nyawa sudah tercabut dari raga. Berjuang terus menjadi orang yang dikorbankan untuk kebahagiaan mamaku dan adikku. Aku rela. Meski seberapa besar kekecewaan mengaliri hatiku karena mereka. I will do everything. Fighting!
Orangtuaku adalah orangtua tunggal yang amat sangat tegar dibandingkan dengan jutaan ibu di dunia ini. ibuku membesarkan aku dan kedua adikku selama lebih dari 10 tahun by her self. Amazing. Tak sedikit orang memuji, bersimpati dan membantu kami dengan sedikit rejeki. Semakin lama aku semakin bangga memiliki ibu seperti mamaku.
Demikian bangganya aku hingga aku dengan pasti akan rela mati demi ibu dan adik-adikku asalkan itu demi kebahagiaan mereka. Aku cinta pada keluargaku. Amat sangat cinta. Sehingga aku juga sudah berjanji tidak akan mendahulukan kepentinganku bila mereka belum mendapatkan apa yang sesuai dengan hati mereka. Aku pernah mengatakan juga kalau aku memilih tidak menikah agar dapat memfokuskan diriku untuk keluarga. Pengabdianku yang terbesar adalah untuk keluargaku. Mamaku dan adik-adikku. Boleh jadi itu sindrom anak pertama sebagai pemegang tanggung jawab. Di tengah berkembangnya dunia yang semakin kejam dan jauh dari kemurahan hati.
Aku tidak puas dengan keadaanku sekarang dan tak ingin nanti pada saat mamaku tua, keadaan ini belum berubah. Aku mengambil keputusan besar ini memang ingin membahagiakan semua orang. Apalagi konsep bahagia untuk semua orang sudah kuakui sebagai kebohongan besar. Jadi kebahagian untuk seluruh anggota keluarga itu tidak ada. Bahagia bisa tercapai asal ada yang mau berkorban. Itu mutlak adanya. Namun pengorbanan itu dilakukan dengan ikhlas dan murah hati mungkin akan sampai pada tahap pasrah. Itu saja. Tidak akan mencapai bahagia.
Waktu terus berjalan dan menanamkan konsep-konsep yang sama sekali baru. Itulah gunanya hidup. Ada perubahan di dalamnya. Merubah dan mengganti serta memperbaharui konsep yang telah tertanam dalam hati. Banyak konsep kehidupan yang dipilih. Prinsip yang dipegang. Namun hari ini, dimana aku sampai pada titik yang bilamana harus kuukur, aku tidak tahu seberapa dalam aku telah jatuh melewati segala macam terjal. Hari dimana aku masih pasrah mengikuti aliran air yang tenang. Sabegitu tenangnya hingga aku merasa tidak ada kehidupan di dalamnya. Tidak ada ikan, tidak ada tumbuhan air.
Pujian dan sebagainya yang dilontarkan oleh orang-orang terasa bagai madu yang mencekik dan mengancamku (mungkin juga adik-adikku). Ibuku berubah menjadi monster yang mencoba menuntut apapun. Segalanya harus sesuai. Aku sampai lupa bagaimana cinta itu dibentuk. Kalau cinta itu agung, bukankah cinta juga tidak seharusnya egois dan memaksakan. Bukankah saat cinta itu datang kita merasa bebas. Bebas menjadi seorang individu. Dan aku kehilangan substansiku menjadi makhluk hidup. Aku kehilangan diriku sendiri di dalam rumahku. Tempat dimana aku harus belajar menyusun kehidupan yang berkualitas. Cacian dan makian membentukku dengan tangannya yang kasar. Sama dengan tanah liat yang dibentuk untuk menjadi guci.
Sayangnya aku mencari pembelajaran itu di luar rumah. Aku mencoba belajar apa sebenarnya hidup itu. Namun aku tetap berbangga menjadi bagian dari ibuku. Sebuah keluarga yang amat kuat pertaliannya, kepatuhannya terhadap agama, kesantunan dan kepintarannya di tengah masyarakat yang munafik ini. dalam hati aku perlahan mencoba membandingkan dengan temanku. Aku percaya bahwa kehidupanku jauh-jauh lebih baik dari mereka.
Takdir membiarkanku tumbuh menjadi orang yang terbiasa dengan uang dan kekayaan. Hampir semua temanku (menurutku) orang kaya. Aku menyesuaikan diri dan untungnya kehidupan ekonomi keluarga makin lama makin baik. Jangan melihatku sebagai anak manja dan bergelimang harta. Aku juga dekat dengan kesengsaraan. Aku mempelajarinya dari mengumpulkan kepingan hidupku dengan bekerja. Dan aku akui itu berat. Namun uang tidak banyak memberiku ajaran-ajaran yang berarti.
Saat mataku mulai berat dan semua mengumpul di dalam hati. Aku merasakan hatiku berat dan busuk. Sampai aku merasa aku tidak mampu melakukan apapun. Aku lumpuh. Dan aku pasrah.
Kehidupanku ini mulai berriak saat ibuku mulai dekat dengan seseorang. Aku murka. Jelas. Hingga sampai pada hari ini. hari dimana aku menulis. Menulis kesombongan dan kecongkakan para manusia dewasa yang mengungkit segala kebaikan yang telah ia lakukan. Apa yang bisa kulakukan? Aku manusia yang masih beranjak dewasa. Yang masih membutuhkan dukungan manusia dewasa untuk hidup. Lalu saat manusia dewasa dengan harga diri tinggi memutuskan untuk tidak peduli lagi. Apa yang bisa kulakukan? Aku memang tidak bisa sepenuhnya menjamin bahwa aku tidak akan berbuat seperti halnya ibuku. Tapi aku bisa berusaha menepati janji untuk tidak memperlakukan anak-anakku kelak seperti itu.
Aku ingin melampiaskannya. Berteriak pada hidup dan pada takdir. Apa yang telah mereka lakukan padaku. Permainan apa yang telah terjadi ini membenturkanku pada kehampaan. Aku sadar selama ini impianku melemah. Impianku menemukan jati diriku memudar saat mengingat konsep kebahagiaan itu. Aku harus menenggelamkannya di lautan racun sosial masyarakat yang selalu menjadi tolak ukur. Kenapa orang lain harus selalu ikut campur? Tidakkah mereka memiliki masalah sendiri? Aku lelah. Tapi aku tahu adikku lebih lelah dari pada aku. Aku tahu mereka mengubur semuanya dalam hati. Akankah kubiarkan mereka bebas dari penjara ini. dan kubiarkan diriku masuk ke dalamnya. Dalam tembok putih tinggi tak berindera ini.
Ini bukan pertama kalinya aku ingin pergi dari rumah dan ini mungkin pertama kalinya aku benar-benar berniat untuk mengakhiri hidupku sendiri. Untung saja aku masih cukup waras. Aku tidak boleh menyerah aku harus terus berjuang. Berjuang sampai nyawa sudah tercabut dari raga. Berjuang terus menjadi orang yang dikorbankan untuk kebahagiaan mamaku dan adikku. Aku rela. Meski seberapa besar kekecewaan mengaliri hatiku karena mereka. I will do everything. Fighting!
Comments
Post a Comment