Tahu Diri

Dulu ketika adik saya lahir sewaktu saya berumur 2 tahun, saya akhirnya dibesarkan oleh mbah kung dan mbah ti meskipun kami tinggal serumah. Saya tumbuh besar dengan mereka. Saya tidur dengan mereka setiap malam. Saya masih ingat ketika saya sakit, mbah kung yang suka puk-puk punggung saya sampai saya tidur. Saya ingat saya suka sekali ketiduran ketika nonton tivi lalu mbah kung selalu menggendong saya ke kamar. Kamar tidur saya, mbah kung dan mbah ti ada di kamar belakang. Sampai usia saya yang sekarang, saya tidak pernah punya kenangan tidur dengan mama dan papa.

Kata orang, kalau jarak lahir anak pertama dan anak kedua terlalu dekat, anak pertama akan cenderung rebel dan suka mencari perhatian. Tapi, semua saudara dekat saya bilang, kalau saya justru menjadi pendiam, kalem dan cenderung penurut. Hhhmmmm. Saya jadi tahu dari mana saya punya kemampuan untuk ‘tahu diri’. yah, belajarnya seumur hidup sih. 

Kalau sekarang, saya juga tahu kok dimana posisi saya.

Kemarin sempat sakit dan harus ngerasa nelangsa sendiri. Hahaha. Ya sudah. Akhirnya menguatkan diri saja, memang takdirnya seperti ini. Sakit dirumah tapi berasanya seperti sakit dikosan yang gak punya tetangga kamar. Hahahaha. 

Semakin kesini, saya juga semakin belajar tahu diri. Belajar menepi.

Siapa yang tidak akan menepi kalau tahu efek dari perbuatanmu menyakiti tidak hanya satu orang tapi beberapa orang?

Siapa yang tidak akan memilih untuk menyerah kalau keadaannya sudah terlalu rumit?

Lebih baik mengorbankan satu orang kan dibandingkan menyakiti satu dua paket keluarga besar yang sudah saling mengenal?

Saya tahu rasanya kehilangan. Saya tahu rasanya menahan diri dan bertahan. Saya ga mau memaksakan kehendak saya.