Di penghujung tahun : Tentang mengalah dan tahu diri.

Bohong bila saya katakan kalau luka hati saya sudah sembuh. Belum. Saya bukan tipe orang yang mudah melupakan apa yang terjadi dalam hidup saya terlebih bila hal tersebut sangat berpengaruh besar pada hari-hari saya. Melihat kebelakang lagi ketika awal tahun 2014 saya lewati begitu saja dengan rasa bahagia karena mendapat pekerjaan baru dan teman-teman baru. Membuat saya begitu antusias mulai menapaki sisa tahun ini.

Semakin masuk lebih jauh ke 2014, saya mulai merasakan banyak up and down yang membuat saya begitu banyak merenung dan meneteskan air mata. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa saya adalah perempuan biasa. Perempuan seadanya. Punya mata, telinga, hati dan perasaan. Mungkin ada beberapa orang yang lupa bahwa saya juga manusia biasa.

Bertemu rekan kerja baru karena perpindahan divisi membuat saya juga harus menyesuaikan diri. belajar hal baru termasuk juga bertemu sifat-sifat rekan kerja saya sekarang. Hmmmm. Mungkin banyak orang yang belum bisa menerima siapa saya sebenarnya, cara saya bersikap, cara saya mengekspresikan sesuatu, cara saya mengambil keputusan. Saya mengalah dan menerima apa adanya. Saya akhirnya hanya meniatkan diri untuk bekerja sebaik mungkin.

 

 Menatap tahun 2015 dengan harapan baru

Ketika harus dealing with my love life, saya bisa katakan saya banyak membuang menghabiskan waktu saya untuk urusan ini. Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa saya hanya perempuan konvensional. Perempuan yang punya pandangan kuno dalam hal pertemanan dengan lawan jenis. Saya punya banyak teman lawan jenis dan saya bersikap sesuai dengan batasan yang saya pegang selama ini. Saya berteman dengan normal dan casual tanpa banyak kontak fisik. Sejujurnya saya sendiri tidak nyaman dengan kontak fisik apalagi dengan orang yang tidak begitu saya kenal.

Yah, saya hanya perempuan konvensional. Ketika harus menghadapi fakta didepan mata yang begitu jelasnya. Like a crystal clear. Yes, I knew you tried to show me implicitly that I was the one who totally wrong. Ini seperti kamu menyodorkan tepat didepan muka saya bahwa saya yang bersalah.

Kecewa? Jelas iya. Saya tertegun. Terdiam dan mencoba memahami.

Ini sudah tidak sesuai dengan prinsip saya. Prinsip yang saya pegang selama ini. Lalu apakah salah jika saya berubah? Saya tidak bisa dan tidak tahan seperti ini. Salahkah saya ketika saya mulai menjauhi orang-orang tersebut dan membatasi pertemanan-pertemanan kami hanya sebatas “seperlunya saja”?

Saya bukan siapa-siapa. Saya tidak bisa terus berpura-pura baik-baik saja. Saya tidak bisa memasang senyum dipagi hari dan menahan kecewa, sakit dan cemburu dimalam hari yang pada akhirnya akan membuat saya menangis. Menangis karena tak bisa apa-apa.

Mungkin terlalu naïf menulis ini, karena bila saya diberi kesempatan memutar waktu, maka saya akan memilih untuk tidak bertemu denganmu. Karena saya rasa saya akan bilang bahwa hal tersebut adalah salah satu hal yang saya sesali dalam hidup saya.

Namun semua sudah diatur oleh Allah, bekerja ditempat saya sekarang dan bertemu dengan orang-orang baru adalah banyak pelajaran yang ingin diberikan Allah pada saya. Dia bekerja dengan cara yang sangat misterius. Jadilah saya disini menerima dengan segala kemampuan yang saya miliki untuk bertahan.

Benar. Mengalah dan tahu diri.