Heart Problem

Cinta selalu tak memberi waktu bagiku untuk menyadari bahwa ini semua bisa dihentikan. Seperti saat itu, saat aku perlahan menyadari bahwa aku butuh orfeus. Dan ada dalam hatiku rasa hampa saat dia tidak ada. Bukan omong kosong! Aku benar-benar merasakan hal itu.

Beberapa tahun menyimpan perasaan dan pada akhirnya orfeus memutuskan untuk bertunangan dengan cewek lain. Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana rasanya saat itu. Yang jelas aku menangis karena aku belum sama sekali mengutarakan perasaanku yang sebenarnya. Baru kali ini aku mencintai seseorang. Kalau ada orang yang bilang, cinta mampu menerima kekurangan, itu benar. Aku menerima semuanya. Dia seutuhnya. Baik dan buruknya. Namun, semua yang kurasakan tak berbalas. Jadi, apa mau dikata?
Aku tidak tahu apakah dia bahagia atau tidak bersama tunangannya. Aku perlahan menerima semuanya meski amat sangat berat.

Because time heals everything. Aku mencoba menyibukkan diri dengan kegiatan kampus. Menanamkan pada diriku, bahwa untuk apa aku hidup, apa visi dan misiku menempuh kuliah, siapa orang yang akan bangga bila aku punya prestasi. Yah, salah satunya mendekatkan diri pada Tuhan dan keluarga. Oh iya, teman-teman juga.

Teman-teman, itu kuncinya. Menyibukkan diri juga termasuk kuncinya. Dengan menyibukkan diri saja, aku sadar bahwa itu salah satu usahaku untuk membuka diri pada orang lain, pada teman-teman baru yang sangat menyenangkan. Tuhan, sangat adil. Kita, dalam hal ini diriku, hanya perlu menyediakan diri dan menyerahkan semua pada Tuhan. Just it. Buka mata buka hati.

Akhir-akhir ini, aku mulai menyukai seseorang yang dulu aku rasa mustahil terjadi setelah orfeus. Meskipun dalam tahap melupakan, aku masih mencari-cari orang yang mirip dengannya dan masih menyimpan fotonya.

Orang baru ini sangat berbeda. Kali ini perasaan suka tidak mencoba menghegemoni diriku lagi. Aku tahu tiap tahapan sampai aku akhirnya menaruh rasa suka. Dia sangat berbeda. Secara umur, pandangan hidup, keyakinan dan segalanya. Aku mencoba mengevaluasi hatiku lagi. Benarkah ini perasaan yang sama seperti yang aku rasakan pada orfeus?

Saat aku mencoba berproses untuk bisa menerima segalanya. Aku dihadapkan pada fakta yang tak jauh berbeda dengan kejadian bertahun-tahun yang lalu. He’s taken. Satu yang aku syukuri adalah aku tak begitu saja menyerahkan hatiku. ‘Rem pengalaman’ menolongku. Menolongku nyaris sebelum kecelakaan terjadi dan tak membiarkanku lecet-lecet hingga operasi organ dalam.

Aku tidak menangis.

Aku bosan jatuh cinta. Capek sekali menitipkan hati pada orang yang memilih memberikan hati pada orang lain. Aku mau hidup seperti ini dengan keadaan seperti ini. Just to be like this. Berjuang dengan segenap hatiku untuk mencapai visi awalku. Berjuang menjadi orang yang lebih baik.

Kalau hidup seperti di sekolah, mungkin aku bisa mengulang apa yang sudah aku lakukan. Namun, kenyataannya hidup bukanlah permainan yang bisa diulang sekehendak hati.

Kemantapan hatiku untuk menyerahkan cinta pada orfeus memang sudah lama aku lakukan. Bahkan sudah bertahun-tahun yang lalu. Bertahun-tahun dimasa-masa aku optimis dia memiliki perasaan yang sama denganku. Dan sekali lagi aku salah sangka. Sampai sekarang aku bertanya-tanya sendiri, apakah aku yang salah mengartikan sikapnya?
Aku mampu melakukannya, batinku. Aku mampu menguburnya bersama waktu. Dan hanya karena satu alasan sepele, aku yang sudah berhasil mengusirnya dari pikiranku akhirnya menguar layaknya parfum tumpah ke seluruh bagian otakku. Hanya gara-gara, ada sinetron yang pemainnya mirip sekali dengan orfeus. Hidup berhasil membanting dan melambungkan hatiku dengan drastis.

Setelah mencapai tahap aku membuka diri pada orang lain dan mengetes rem pengalamanku, ternyata baru-baru ini orfeus menghubungiku. Tidak biasa. Yang dia katakan hanya berkisar antara kabar teman-teman dan kapan bisa bertemu dan berkumpul lagi. Tidak ada ungkapan kangen atau yang berbau cinta.

Yah, setelah semua yang terjadi aku sama sekali tidak berubah pikiran akan persepsiku tentang dia. orfeus menyukaiku seperti perasaanku padanya. Terlalu percaya diri. Namun sinyal itu terlalu kuat. Atau yang harus kulatih justru rem ge-erku.

Aku tetap berjalan meniti kehidupan namun namanya masih ada dalam hatiku. Tersimpan rapi menunggu takdir menyatukan kita. Berat kalau berbicara masalah takdir kita. Aku akan tetap menerima kok meskipun dia bukan takdirku. Intinya aku hanya menjalani hidup dan mengikutinya kemana cinta membawaku. Tapi untuk urusan di luar itu, aku yang memegang kendali atas hidupku. Bukan malah menunggu dan mengikuti apa yang digariskan.

Masalah hati memang rumit sekali. Complicated.

Comments

Popular Posts