Cap, Label dan Stereotype
Beberapa hari yang lalu saya dimarahi dan dikata-katain ‘kampungan’ oleh teman sekantor yang umurnya lebih dari umur mama saya, hanya karena saya tidak menyalakan AC ruangan dan di depan banyak orang. Saya hanya menyalakan 1 AC dari 4 AC yang ada di ruangan. Saya dikatain sebagai orang ‘ndeso’ yang nggak bisa kena AC. Indikator yang sangat aneh bila dikaitkan dengan status ‘ndeso’ dan ‘kota’. Orang dikatakan sebagai orang ‘kota’, apakah adalah orang yang tinggal di kota? Ini masalah geografis kah? Samakah ini dengan kasus perbedaan Negara maju dan Negara berkembang?
Jujur saya akui, setelah dikatain ‘kampungan’, saya menangis. Menangis karena bertanya pada diri saya sendiri, apakah teman/ibu itu tidak pernah menanyakan pada saya, kenapa saya tidak bisa berada dalam ruangan yang terlalu dingin? Memikirkan sebentar alasan saya tidak bisa menyalakan AC terlalu banyak dan terlalu dingin? Hal itu juga beliau lakukan pada salah satu anak magang yang memang kebetulan tidak bisa menggunakan toilet duduk. Beliau menegur di depan orang banyak sambil memberikan referensi kalau toilet jongkok ada di sebelah pantry. Saya tidak tahu kenapa beliau melakukan ini, cara menyampaikannya sama dengan cara beliau mengatai saya ‘kampungan’. Agak menyinggung dan membuat anak magang itu malu begitu juga saya.
Beberapa tahun yang lalu, saat saya masih bekerja sebagai pramuniaga VCD rental, saya pernah dikatain ‘kampungan’ gara-gara saya tidak bisa berdandan. Saya masih lulusan SMA dan hanya bisa bekerja pada level itu. Saya dikatain ‘kampungan’ ditambah lagi saya dikatai kalau saya punya dada kecil dan itu dia lakukan di depan seorang laki-laki. Apa salah punya dada kecil? Apa salah saya nggak bisa dandan? Apa dada kecil menentukan berapa besar kapasitas otak? Pulang dari kerja sekitar jam 10 malam, saya menangis selama perjalanan pulang. Dan itu terjadi lagi.
Sampai hari ini saya tidak mengerti kenapa orang melakukan itu. Membuat ukuran sendiri. Membuat cap sendiri. Mengkotak-kotakan hal yang menurut saya hal sepele. Dan mau repot-repot mengurusi urusan orang saat urusan sendiri belum tentu baik dan benar.
Saya mungkin akan menerima dimarahi bila itu karena pekerjaan saya yang tidak beres. Saya dimarahi karena sesuai yang tidak penting. Sepele.
Saya memikirkan ini lagi berkali-kali dan mencoba memahami permasalahan yang terjadi. Saya memutuskan untuk menjadi orang kampung atau ndeso. Karena pada dasarnya semua orang berawal dari desa. Dahulu kita akrab dengan pohon dengan sungai dengan bola bekel. Namun sekarang orang lebih akrab dengan computer dengan televisi dan dengan AC. Orang lebih tahu bagaimana menjadi cantik menjadi ganteng. Sibuk memenuhi tuntutan yang diberikan lingkungan dengan label yang saya rasa membuat kita picik. Kita menjadi takut diberi label. Saya takut diberi label karena hal itu akan membawa saya pada sanksi sosial. Karena saya takut diberi label maka saya berusaha tidak memberi label. Sama seperti siapa yang pegawai tetap dan siapa yang pegawai kontrak dan siapa OB.
Tinggalkan pelabelan!!!!
Jujur saya akui, setelah dikatain ‘kampungan’, saya menangis. Menangis karena bertanya pada diri saya sendiri, apakah teman/ibu itu tidak pernah menanyakan pada saya, kenapa saya tidak bisa berada dalam ruangan yang terlalu dingin? Memikirkan sebentar alasan saya tidak bisa menyalakan AC terlalu banyak dan terlalu dingin? Hal itu juga beliau lakukan pada salah satu anak magang yang memang kebetulan tidak bisa menggunakan toilet duduk. Beliau menegur di depan orang banyak sambil memberikan referensi kalau toilet jongkok ada di sebelah pantry. Saya tidak tahu kenapa beliau melakukan ini, cara menyampaikannya sama dengan cara beliau mengatai saya ‘kampungan’. Agak menyinggung dan membuat anak magang itu malu begitu juga saya.
Beberapa tahun yang lalu, saat saya masih bekerja sebagai pramuniaga VCD rental, saya pernah dikatain ‘kampungan’ gara-gara saya tidak bisa berdandan. Saya masih lulusan SMA dan hanya bisa bekerja pada level itu. Saya dikatain ‘kampungan’ ditambah lagi saya dikatai kalau saya punya dada kecil dan itu dia lakukan di depan seorang laki-laki. Apa salah punya dada kecil? Apa salah saya nggak bisa dandan? Apa dada kecil menentukan berapa besar kapasitas otak? Pulang dari kerja sekitar jam 10 malam, saya menangis selama perjalanan pulang. Dan itu terjadi lagi.
Sampai hari ini saya tidak mengerti kenapa orang melakukan itu. Membuat ukuran sendiri. Membuat cap sendiri. Mengkotak-kotakan hal yang menurut saya hal sepele. Dan mau repot-repot mengurusi urusan orang saat urusan sendiri belum tentu baik dan benar.
Saya mungkin akan menerima dimarahi bila itu karena pekerjaan saya yang tidak beres. Saya dimarahi karena sesuai yang tidak penting. Sepele.
Saya memikirkan ini lagi berkali-kali dan mencoba memahami permasalahan yang terjadi. Saya memutuskan untuk menjadi orang kampung atau ndeso. Karena pada dasarnya semua orang berawal dari desa. Dahulu kita akrab dengan pohon dengan sungai dengan bola bekel. Namun sekarang orang lebih akrab dengan computer dengan televisi dan dengan AC. Orang lebih tahu bagaimana menjadi cantik menjadi ganteng. Sibuk memenuhi tuntutan yang diberikan lingkungan dengan label yang saya rasa membuat kita picik. Kita menjadi takut diberi label. Saya takut diberi label karena hal itu akan membawa saya pada sanksi sosial. Karena saya takut diberi label maka saya berusaha tidak memberi label. Sama seperti siapa yang pegawai tetap dan siapa yang pegawai kontrak dan siapa OB.
Tinggalkan pelabelan!!!!
Comments
Post a Comment