On The Road
Saya berangkat dari rumah menuju ke terminal
Bungurasih kira-kira jam 9. Saat itu suasana terminal penuhhhhhh sesak.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah naik bus dari terminal bungurasih yang
sedang direnovasi dan ada sedikit perbedaan. Tempat bis patas dan bis tarif
ekonomi sekarang terpisah. Namun kemarin, saya mendapati bahwa terminal ini
berbeda dengan yang sebelumnya. Jadi saya ke petugas dan menanyakan yang mana
bis ekonomi menuju Ponorogo. Dan setelah dijelaskan barulah saya mengerti.
Menurut informasi
yang saya dapatkan dari teman bahwa perjalanan kali ini paling tidak memakan
waktu 5 jam. Dari Surabaya-Krian-Mojoagung-Mojokerto-Jombang-Kertosono-Baron-Nganjuk-Bagor-Saradan-Caruban-Madiun.
Jadi saya mengatur sebisa mungkin untuk tidak membawa barang yang dibebankan di
pundak terlalu berat, just in case, saya gak dapet tempat duduk. Barang bawaan
saya bagi menjadi dua yakni dalam carry on bag dan purse kecil. Dengan
pertimbangan lain, bahwa saya bukan tipe orang yang suka mual pusing apalagi
muntah-muntah ketika perjalanan jauh, jadi saya tidak perlu membawa terlalu
banyak barang di dalam tas kecil. Kalau untuk menyimpan uang, saya selalu
memisahkan uang-uang saya ke beberapa tempat, missal di tas, di saku celana, di
carry on bag, dll. Just in case, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, saya
tidak akan kehilangan seluruuuuhhhhh uang saya.
Alhamdulillah,
bis yang saya tumpangi masih menyisakan beberapa bangku kosong. Setelah
meletakkan tas di lantai, mengambil botol air minum dan duduklah saya di sebelah
bapak-bapak. Hihihi. Sedikit mengobrol dan basa-basi mengenai tempat tujuan dan
kenapa kesana, lumayanlah sebagai obat bosan. Perjalanan menuju Madiun tidak
seberat perjalanan kembali ke Sidoarjo.
Saya naik
bis dari terminal Madiun yang mana bukan trayek pertama dari bis yang saya
tumpangi. Bis itu berangkat dari Yogyakarta, dan pastinya bis itu penuhhhhhhh
sekali orang. Dengan situasi dimana pada saat itu adalah weekend dan liburan
sekolah. sudah pasti penuh sesak. Ketika berebutan naik, yang jadi tips
hanyalah jaga barang bawaan dan barang berharga yang dimiliki. Penuh perjuangan
karena harus sikut menyikut dengan orang di sebelah kita.
Alhamdulillah
ya Allah. Saya dapet tempat duduk di sebelah ibu-ibu dengan anaknya yang masih
kecil. Seperti ritual sebelumnya, meletakkan carry on, mengambil minum, dan
duduk dengan tenang. Tidak lama kemudian, masih di daerah Madiun, bis menaikkan
penumpang. Dari segerombolan penumpang itu, ada ibu-ibu dan nenek-nenek. Sumpah
ini nenek-nenek tua renta. Saya ga melebih-lebihkan, kira-kira berumur 80an
gitulah. Dari puluhan laki-laki sehat bugar di dalam bis, tidak ada satupun
yang menawarkan tempat duduknya. Saya tidak tahu kenapa sampai terjadi fenomena
seperti ini. Boleh ga kalau saya bilang ini sebagai fenomena keegoisan? Atau
mungkin lebih cocok disebut fenomena ketidakpekaan? Sepuluh menit menunggu
reaksi, akhirnya saya memberikan tempat duduk saya.
Saya
menghabiskan banyak waktu di dalam bis dari masa-masa kuliah hingga kerja. Saya
memanfaatkan angkutan ini karena murah dan jalannya cepat. Banyak sekali saya
temui hal demikian. Saya sering bertanya-tanya sendiri. Apakah karena
emansipasi wanita yang sebegitu gencarnya hingga laki-laki tidak mau memberikan
tempat duduk pada nenek-nenek, ibu hamil dan ibu yang lagi menggendong anaknya
di transportasi umum sebagai usaha penyetaraan gender bagi laki-laki?
Setelah
mengobrol singkat dengan nenek-nenek itu, ternyata sang nenek turun di Nganjuk.
Selama perjalanan yang lumayan panjang, sampailah di Nganjuk. Akhirnya saya
bisa duduk lagi. Di terminal Nganjuk, bis kembali menaikkan penumpang.
Berdesak-desakan di bis dengan parfum yang bercampur dengan bau keringat memang
memusingkan.
Di
Kertosono, perempuan seumuran saya, menanyakan kemana saya turun. Yah saya
jawab kalau saya turun di Surabaya. Saya berusaha menikmati perjalanan itu
sesantai mungkin. Lalu beberapa menit kemudian, perempuan tadi mencolek lengan
saya dan meminta untuk bergantian duduk karena dia sakit. Saya melihat wajahnya
yang pucat dan telapak tangannya yang ia sodorkan pada saya basah berkeringat.
Karena kasihan, akhirnya saya berikan tempat duduk saya. Selang beberapa menit,
mbak-mbak pucat itu muntah. Saya bingung karena saya berdiri paling dekat
dengan dia. Saya kehabisan tissue dan tidak bawa kantong plastic. Saya minta
orang-orang di sebelah, akhirnya dapat juga yang dicari. Ternyata mbak-mbak itu
turun Mojokerto. Saya membayangkan betapa tidak nyamannya melakukan perjalanan
jauh dengan transportasi umum dang a dapet tempat duduk pulakkkkk. Ya sudahlah
saya berikan tempat duduk saya.
Selama
perjalanan dengan berdiri di dalam bis itu saya mengamati banyak hal. Saya
mengamati bahwa ada sebuah mobil yang berisi sekeluarga berkemampuan lebih
(mungkin) sedang pulang dari liburan. Semua tempat duduk terisi. Paling
belakang, berisi dua anak laki-laki. Yang satu sedang tidur yang lain sedang
bermain PSP. Di bagian tengah ada dua wanita yang sedang mengutak-atik HP. Di
depan laki-laki sedang menyetir dan yang lain, duduk di sebelahnya. Saya tahu
betapa nyamannya ada didalam situ. Ada music yang menemani, baunya wangi dan
duduk dengan nyaman.
Tapi lalu
saya berpikir, apakah orang-orang itu tahu bagaimana cara untuk peka pada orang
lain? Saya jadi sadar bahwa kenyamanan kadang bisa membuat kita tidak mengijinkan
diri kita sendiri untuk berbuat baik. Seperti adanya remote tv yang justru
membuat kita sangat nyaman memindahkan channel tanpa bergerak sedikit pun dari
sofa. Adanya teknologi kadang memberikan kenyamanan yang menjauhkan kita dengan
orang-orang terdekat. Kita biasanya lebih banyak berinteraksi dengan HP
dibanding dengan orang disekitar. Games-games yang ada membuat kita membunuh
rasa bosan dengan mudah namun menghindarkan kita dari kegiatan mengamati
lingkungan sekitar. Mungkin alasan kenyamanan ini yang membuat laki-laki
sekarang sangat jarang memberikan tempat duduk pada orang lain. Namun yang
dilupa bahwa sedikit kenyamanan mendapatkan tempat duduk di bis umum ini bisa
menjadi sebuah kebutuhan bagi orang-orang tertentu.
Saya sampai
dengan selamat tanpa kurang suatu apapun di rumah. Saya bersyukur Allah masih
memberikan saya kepekaan hati dan empati untuk merasakan perasaan orang
lain.
Comments
Post a Comment