Cinta (End)
Dara
Untuk pertama kalinya aku diajak menjemput Isya, anak semata wayang Adri dan Nova. Aku melihatnya keluar dari sekolah dengan berseragam merah putih. Adri menyambutnya dengan riang. Isya sangat mirip dengan Nova. Matanya. Bibirnya. Hidungnya. Hanya menyisakan rambut keriting kecil milik ayahnya.
“Itu siapa, Yah?” tanyanya malu-malu.
Adri menatapku, “Ini tante Dara.”
Aku berani bersumpah bahwa aku jatuh cinta untuk yang keberapa kalinya pada Adri. Melihat sisi kebapakannya membuatku semakin jatuh hati.
Nova
Aku sudah menyeret Isya masuk ke mobil. Dalam mobil, biasanya kami berdua mengobrol tentang kegiatan Isya di sekolah, namun kali ini Isya juga memilih diam. Sepertinya dia tahu keadaan hatiku. Sepertinya ini pertama kalinya dia melihatku marah. Tidak tenang dan merasa terancam.
Aku menghela napas pelan. “Kamu mau es krim?”
Isya menunduk. “Tapi sekarang, Isya pengen makan coklat.”
“Isya!!”
Aku kelepasan ngomong. Panik. Kulihat wajah Isya yang menunduk takut. Isya satu-satunya orang yang membuatku bertahan. Air mataku jatuh menetes. Aku merasa pusing. Semua menjadi kacau. Sampai suara benturan keras dan jeritan Isya membangunkan seluruh inderaku yang sebelumnya hanya fokus pada hatiku.
Dara
“Nova dan Isya kecelakaan tadi siang. Aku sekarang di rumah sakit. Maaf ya,” kata Adri di sambungan telpon.
Aku melemah. Aku membenamkan wajahku di telapak tangan dalam-dalam. Aku sekarang yakin kalau aku memang sudah gila.
Nova
Kenapa dia harus muncul disini saat aku dalam keadaan tidak berdaya. Wajahnya masih sama seperti terakhir kali kami bertemu. Hanya saja sekarang penampilannya sedikit feminin, dengan rok sebatas lutut yang ia kenakan.
Aku diam.
“Maaf. Saya kesini bukan bermaksud untuk membuat keadaan ini semakin rumit. Tapi saya kesini dengan tulus. Saya harap Mbak bisa cepat sembuh dan bisa merawat suami dan anak Mbak.”
Aku memutuskan untuk tidak hanya diam mendengarkan kata-kata wanita itu. “Saya minta kamu menjauhi keluarga saya. Jangan pernah menemui suami dan anak saya lagi.” Aku akan melakukan apapun untuk menjaga semuanya seperti semula.
Dia memandangku sambil menggigit bibir bawahnya. Dia kemudian tersenyum simpul. “Saya minta maaf karena memaksa Adri untuk menjadikan saya istrinya yang kedua tanpa mempertimbangkan perasaan Mbak, perasaan Isya dan keluarga besar. Saya hanya memikirkan perasaan saya.”
Aku melihatnya. Melihat matanya yang berubah menjadi sendu. Menerawang kemudian tersenyum. “Dia satu-satunya orang yang tidak pernah menghakimi saat saya butuh teman bercerita. Dia satu-satunya orang yang aku kenal selalu tertawa walaupun sedang suntuk. Dia selalu punya jokes yang lucu. Dia suka melukis.”
Aku melihatnya lebih dalam kali ini. Karena aku sadar Adri jarang sekali melucu. Setahuku Adri orang yang serius. Dan melukis? Sejak kapan Adri suka melukis? Aku tidak pernah tahu kalau Adri hobi melukis. Kemudian wanita itu tertawa kecil.
“Dia satu-satunya yang bisa membuat saya tertawa sampai menangis.”
Dia jatuh cinta pada Adri, bisikku dalam hati. Aku tertegun melihat rona merah diwajahnya.
“Mbak beruntung punya suami seperti dia,” katanya. Kali dia ini berani menatap mataku. Membuatku sedikit ringkuh, entah karena apa. “Dia sangat mencintai Mbak dan Isya. Karena itu saya kesini untuk minta maaf. Saya ingin bisa bersama dengan dia tapi saya rasa saya salah. Saya minta maaf. Saya tahu saya tidak pernah pantas bersanding dengan dia meskipun hanya menjadi yang kedua.”
Aku membuka mulutku menanyakan sesuatu yang ingin aku tanyakan dari dulu. “Sejak kapan kamu kenal Adri?”
“Sejak SMA.”
Dara
Seminggu setelah Mbak Nova dan Isya sembuh. Aku memutuskan menemui Adri. Aku mencoba menahan air mata sekuat mungkin. Sekuat tenagaku. Aku tak ingin memburamkan pandanganku dengan air mata, aku takut Adri akan menghilang.
Aku tersenyum kecut. Lucu mengingat bagaimana Tuhan menciptakan garis takdirku dengan Adri. Perjalanan panjang atas penantianku telah sampai pada akhir. “Rasanya nggak percaya kalau kamu sekarang ada didepanku.”
Adri tersenyum juga. Kemudian dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Mencoba meyakinkanku bahwa ini bukan mimpi.
“Aku menyerah,” kataku menahan getaran disetiap kata yang kuucap. “Kamu bisa melanjutkan kehidupan rumah tanggamu seperti dulu. Mbak Nova dan Isya pantas mendapatkan cintamu seutuhnya. Aku sadar kalau aku sangat egois. Aku nggak memikirkan perasaan Mbak Nova dan Isya. Dan kamu. Pasti berat buat kamu melakukan ini. Mengutarakan keinginan ini kepada istri dan keluarga besarmu.”
Tangan Adri kini menggenggam jemariku erat. “Bagaimana dengan kamu? Perasaanmu? Hatimu?”
“Ini bukan tanggung jawabmu. Hatiku adalah milikku. Kalau dia hancur, akulah yang menyuruhnya untuk hancur. Kalau dia tetap bertahan, akulah yang memerintahkannya untuk tetap bertahan.”
Aku mendorongnya menjauh.
Adri masih berdiri ditempatnya semula.
Aku bergerak menjauhi Adri dan berpura-pura sibuk membereskan meja kerjaku. Aku tidak berani menengok ke belakang sampai terdengar langkah kaki Adri menjauh.
Comments
Post a Comment