Tentang Sahabat
Di setiap tahap dalam kehidupan sekolah saya dan bertemu orang-orang baru, kita biasanya akan selalu memiliki teman baru dan sahabat baru. Saat SD saya dekat dengan salah satu teman saya yang bernama Santi dan Diah. Lalu sempat pindah sekolah SD, dan teman dekat saya pun berganti, Yunis, Dwi dan lainnya. Saat SMP, saya berteman dekat dengan cukup banyak orang, ada Kinta, Ricca, Ruth, Erni dan lain-lain. Saat SMA, saya juga punya sahabat dan cukup banyak pula jumlahnya. Saat kuliah, saya berteman dengan dua teman saya, Wifka dan Sofi. Boleh saya bilang, persahabatan saya dengan Sofi dan Wifka adalah dimana ketika saya paling banyak menunjukkan siapa diri saya yang sebenarnya diantara pertemanan saya yang lain. Menunjukkan karakter saya yang mendekati sesungguhnya.
Kita sudah tidak pernah ngumpul bertiga since wisuda tahun 2011 (kalau tidak salah ingat). Nah kemarin tanggal 5 April, kita bertiga janjian ngumpul dan jalan-jalan bareng. Hihihi. Seru. Yah standart seperti anak-anak kuliahan pada umumnya, karaoke dan dilanjutkan dengan window shopping dan akhirnya membeli barang yang di luar rencana. Pada awalnya saya agak dilemma dengan rencana ini karenaaaaa keadaan financial saya yang tidak memungkinkan. Saya kan masih berstatus pengangguran atau boleh dibilang setengah pengangguran setengah punya kerjaan yang menghasilkan uang biarpun gak besar jumlahnya dan gak regular. Bahasa kerennya, kerja serabutan. Dengan sedikit memaksa, saya minta mereka yang menanggung kegiatan jalan-jalan kita. Maafkan. Hihihi. Lain kali gentian saya yang bakal bayar. Salah satu malam paling menyenangkan dalam hidup saya, selain malam ketika saya akan berangkat rekreasi sekolah bersama dengan teman SMP atau SMA ke Jogja atau Bali. Ingatan paling indah yang pernah ada. Hingga setiap saya melihat bus bertuliskan pariwisata, selalu me-recall kembali ingatan saya tentang itu.
Saya juga bersahabat dekat dengan beberapa orang lainnya. Mereka adalah teman-teman yang tinggal serumah kos dengan saya. Awalnya memang, kita dipaksa untuk menjadi teman karena kita mau tidak mau harus hidup selama paling tidak satu tahun bersama. Dari pendekatan awal yang tidak tahu siapa-siapa, sampai kita saling curhat dan dekat satu dengan yang lain.
Tinggal dan hidup dengan orang lain ketika kuliah, menurut saya merupakan cara yang ampuh menumbuhkan rasa empati dan saling menghormati dengan orang lain. Ketika kita hidup bersama keluarga, yang pastinya akan menyayangi kita tanpa syarat, kita terbiasa mengabaikan atau mengendurkan aturan norma yang berlaku. Namun saat hidup bersama dengan orang lain, kita akan belajar bagaimana kita sebaiknya bersikap di tengah-tengah masyarakat. Saya sejujurnya menjadikan pengalaman saya tinggal dengan kakak-kakak dan adik-adik kos di lima tempat yang berbeda selama masa perkuliahan sebagai pengalaman yang membentuk karakter saya. Pencarian jati diri itu tidak mudah, ketika pencarian itu berlasung akan selalu dibarengi dengan hambatan dan cobaan. Karena pada saat hambatan itu datang, kita akan bersikap dan mencoba mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan dan kedewasaan. Saat itulah kita mencoba membentuk persepsi bahwa bersikap ‘A’ itu baik. Bersikap ‘B’ itu buruk. Sehingga, jati diri itu seperti sebuah prinsip yang kita dapatkan dari pengalaman hidup.
Tinggal di kos dengan bermacam-macam karakter orang dan budaya yang dianut dan agama yang dipegang, membuat saya benar-benar sangat menyelami kehidupan bersosial ini. Kita belajar menjadi kakak, kita belajar menjadi orang yang tidak menyalakan music keras-keras ketika waktu tidur siang atau malam hari, kita belajar sabar untuk mengantri kamar mandi setiap pagi, kita belajar bertanggung jawab dengan membersihkan kamar mandi dan area umum kos, kita belajar menjadi pribadi yang menghormati dan mentaati peraturan, bahwa jam malam diberlakukan adalah untuk kebaikan, bahwa meletakkan sandal di rak adalah sebuah hal kecil mengenai keteraturan yang bahkan sangaaaatttt mudah untuk diterapkan. Namun semua menjadi kembali pada individu masing-masing.
Menarik sekali, sehingga menjadi salah satu yang membuat saya memutuskan untuk melamar beasiswa S2 dan mengambil jurusan psikologi. Mempelajari manusia itu sangat menyenangkan. Manusia itu merupakan bukti nyata kebesaran Tuhan YME. Di masa perkuliahan inilah saya menemukan sahabat-sahabat saya.
Kita sudah tidak pernah ngumpul bertiga since wisuda tahun 2011 (kalau tidak salah ingat). Nah kemarin tanggal 5 April, kita bertiga janjian ngumpul dan jalan-jalan bareng. Hihihi. Seru. Yah standart seperti anak-anak kuliahan pada umumnya, karaoke dan dilanjutkan dengan window shopping dan akhirnya membeli barang yang di luar rencana. Pada awalnya saya agak dilemma dengan rencana ini karenaaaaa keadaan financial saya yang tidak memungkinkan. Saya kan masih berstatus pengangguran atau boleh dibilang setengah pengangguran setengah punya kerjaan yang menghasilkan uang biarpun gak besar jumlahnya dan gak regular. Bahasa kerennya, kerja serabutan. Dengan sedikit memaksa, saya minta mereka yang menanggung kegiatan jalan-jalan kita. Maafkan. Hihihi. Lain kali gentian saya yang bakal bayar. Salah satu malam paling menyenangkan dalam hidup saya, selain malam ketika saya akan berangkat rekreasi sekolah bersama dengan teman SMP atau SMA ke Jogja atau Bali. Ingatan paling indah yang pernah ada. Hingga setiap saya melihat bus bertuliskan pariwisata, selalu me-recall kembali ingatan saya tentang itu.
Saya juga bersahabat dekat dengan beberapa orang lainnya. Mereka adalah teman-teman yang tinggal serumah kos dengan saya. Awalnya memang, kita dipaksa untuk menjadi teman karena kita mau tidak mau harus hidup selama paling tidak satu tahun bersama. Dari pendekatan awal yang tidak tahu siapa-siapa, sampai kita saling curhat dan dekat satu dengan yang lain.
Tinggal dan hidup dengan orang lain ketika kuliah, menurut saya merupakan cara yang ampuh menumbuhkan rasa empati dan saling menghormati dengan orang lain. Ketika kita hidup bersama keluarga, yang pastinya akan menyayangi kita tanpa syarat, kita terbiasa mengabaikan atau mengendurkan aturan norma yang berlaku. Namun saat hidup bersama dengan orang lain, kita akan belajar bagaimana kita sebaiknya bersikap di tengah-tengah masyarakat. Saya sejujurnya menjadikan pengalaman saya tinggal dengan kakak-kakak dan adik-adik kos di lima tempat yang berbeda selama masa perkuliahan sebagai pengalaman yang membentuk karakter saya. Pencarian jati diri itu tidak mudah, ketika pencarian itu berlasung akan selalu dibarengi dengan hambatan dan cobaan. Karena pada saat hambatan itu datang, kita akan bersikap dan mencoba mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan dan kedewasaan. Saat itulah kita mencoba membentuk persepsi bahwa bersikap ‘A’ itu baik. Bersikap ‘B’ itu buruk. Sehingga, jati diri itu seperti sebuah prinsip yang kita dapatkan dari pengalaman hidup.
Tinggal di kos dengan bermacam-macam karakter orang dan budaya yang dianut dan agama yang dipegang, membuat saya benar-benar sangat menyelami kehidupan bersosial ini. Kita belajar menjadi kakak, kita belajar menjadi orang yang tidak menyalakan music keras-keras ketika waktu tidur siang atau malam hari, kita belajar sabar untuk mengantri kamar mandi setiap pagi, kita belajar bertanggung jawab dengan membersihkan kamar mandi dan area umum kos, kita belajar menjadi pribadi yang menghormati dan mentaati peraturan, bahwa jam malam diberlakukan adalah untuk kebaikan, bahwa meletakkan sandal di rak adalah sebuah hal kecil mengenai keteraturan yang bahkan sangaaaatttt mudah untuk diterapkan. Namun semua menjadi kembali pada individu masing-masing.
Menarik sekali, sehingga menjadi salah satu yang membuat saya memutuskan untuk melamar beasiswa S2 dan mengambil jurusan psikologi. Mempelajari manusia itu sangat menyenangkan. Manusia itu merupakan bukti nyata kebesaran Tuhan YME. Di masa perkuliahan inilah saya menemukan sahabat-sahabat saya.
Setujuuu...S2-nya mau kemana nich? Hihihi
ReplyDelete