Mengalah bukan berarti kalah

Sumpah, itu klise banget. Kita pasti sering mengalah selama hidup kita. Mengalah pada orang yang lebih tua atau yang lebih muda, mengalah pada dosen, mengalah pada keinginan teman kita, mengalah pada takdir. Apakah bisa disebut mengalah kalau yang kita hadapi adalah takdir yang digariskan oleh Tuhan?

Mengalah itu sulit. Sesulit memaafkan mantan yang selingkuh? Hahaha. Mungkin. Terkadang saat kita mengalah kita menjadi merasa bahwa hidup itu tidak adil. Itu efek samping dari mengalah. Atau ketidakadilan itu muncul sebelumnya? Well, mungkin berbeda bagi setiap orang. Kalau siklusnya adalah setelah kita mengalami hal yang tidak sesuai dengan harapan kita, maka terkadang kita merasa kita tidak mampu, tidak layak, atau lebih kepada menyalahkan diri sendiri, lalu setelah itu akan muncul pergolakan batin tentang kemampuan kita dan keputusan yang akan kita ambil, setelah itu kita mengalah. Selesai. Setelah itu mungkin kita akan menangis dan merasa tidak layak.

Bila kita memutuskan untuk terus memperjuangkan dan memberontak. Mungkin efeknya akan lebih fatal bila dibandingkan bila kita memilih untuk mundur dan mengalah. Maka dari itu, kenapa mengalah justru saya anggap sebagai seorang yang menang. Karena disaat mereka mengalah, mereka berkompromi dengan suasana hati mereka, emosi mereka, dan berkompromi dengan diri sendiri butuh level kedewasaan yang tinggi.

Orang yang memberontak dan tak mau kalah dan tak mau menerima kekalahan, adalah orang yang cenderung berpikiran pendek dan berada dalam level kedewasaan rendah.

Mengalah itu butuh kebesaran hati. Kebesaran hati digunakan untuk menerima keadaan dan garis yang ditentukan Tuhan. Benarkah seperti itu?

Comments

Popular Posts