Cinta Part 2

“Dara.”
Aku mendapati Adri berdiri beberapa meter dibelakangku. Aku menunduk menyembunyikan pandangan. Aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengannya. Disini. Di kota ini.
“Kamu sekarang mau memakai baju merah padahal dulu kamu tidak suka memakai baju warna merah.”
Aku menarik napas panjang dan mengumpulkan kekuatan menatap mata Adri. “Waktu biasanya selalu berhasil membuat orang berubah. Kamu sekarang mau memakai softlens padahal kamu dulu lebih suka memakai kacamata.”
“Itu karena kamu lebih suka aku memakai kacamata daripada pake softlens,” kata Adri berjalan mendekatiku.
Aku tersenyum memandangnya. “Seperti ini saja. Sudah membuatku berdo’a memohon pada Tuhan supaya waktu berhenti,” gumamku.
Adri menyimak setiap kata yang keluar dari bibirku. Suaraku sedikit bergetar menahan tangis. “Banyak hal yang ingin aku tanyakan dan aku katakan.” Aku mengumpulkan keberanian dan mencoba memandangnya seksama. “Apakah kamu mencintai Nova?” Aku menunggu respon dari Adri namun tak kudapatkan. “Kalau begitu, katakan kalau kamu tidak mencintai aku. Kalau kamu mencintai aku, kenapa kamu tidak memilih aku?” Air mata itu sudah menganak sungai dipipiku. “Kalau aku boleh memakai kesempatan delapan tahun yang lalu untuk hari ini. Apa aku boleh mengatakan perasaanku dan keinginanku? Semuanya?”
“Dara..”
“Kamu tahu dari dulu, kalau aku mencintaimu. Aku sendiri tidak percaya, kalau cinta ini akan bertahan sampai hari ini.” Aku mengesampingkan akal sehatku, harga diriku, kedudukanku, status Adri, keberadaan Nova, kehadiran Isya dan apapun itu. “Nikahi aku, Adri. Jadikan aku istrimu. Istrimu yang kedua.”
Adri menarikku mendekat. “Meski yang kedua terasa sangat menyakitkan. Tapi tidakkah delapan tahun penantianku sudah cukup untuk membuatku bertahan dari rasa sakit itu?”

Nova
Adri berdiri memandangku. Aku dengan nanar menatapnya dan pikiranku seketika kosong. Tak percaya dengan apa yang kudengar.
“Apa?” Aku tersenyum paksa. “Jangan bercanda.”
Tapi aku tahu dari tatapan matanya Adri sama sekali tidak bercanda. Dia serius. Sedetik kemudian tanganku melayang menampar pipinya. Keras. Amat keras.
Adri hanya bergeming saat aku mulai menangis. Aku hanya mampu duduk di tepi tempat tidur dan menutup wajahku.
Kenapa ini bisa terjadi padaku. Aku tidak pernah kurang memberikan segalanya. Perhatian. Kasih sayang. Materi. Bahkan seks yang memuaskan. Aku cantik, mapan dan dari keluarga baik-baik. Apa yang kurang dariku?
“Kamu ingin menikah lagi?” tanyaku lagi. Meyakinkan bahwa yang dikatakan Adri hanya kekeliruan otaknya karena pekerjaan kantor yang menumpuk. “Kenapa?”
“Aku cinta dia.”
“Bagaimana dengan aku? Aku istrimu. Kamu cinta aku kan?”
***
Sungguh menyakitkan mengingat momen dimana Adri meminta untuk berpoligami. Tapi rekaman itu terus berputar di depan mataku. Dimana perasaan Adri? Dimana perasaan wanita itu? Siapa wanita itu? Siapa wanita yang bisa membuat Adri mampu mengucapkan kata-kata itu dan mengorbankan perasaanku, perasaan istrinya?
Bagaimana dia setega itu membiarkan aku membagi suami dengan wanita lain. Kalaupun dia mencintai wanita itu. Apakah dia akan mampu membagi cintanya seadil mungkin? Karena hati tak bisa dibagi. Karena perasaan tidak memiliki satuan ukur. Mobil boleh sama. Rumah boleh sama. Tapi hati tidak akan berbohong mengenai cinta. Apakah ini hanya perasaan takut akan kenyataan kalau Adri lebih mencintai dia daripada aku? Aku tidak mengerti.
Sampai akhirnya aku harus bertemu dengannya pertama kali di café tempat kubekerja. Dia wanita yang sangat biasa. Aku bisa melihat bajunya tidak bermerk. Sepatu sneaker biasa. Wajahnya polos tanpa sentuhan make up berlebihan.
Aku tahu dia sangat ketakutan. Sangat tegang. Dan terlihat sangat teguh pada prinsipnya. Setiap mengingatnya aku merasa menjadi rendah. Karena aku tak sebanding dengannya dalam hal keberanian. Dan aku tahu dia juga merasa seperti itu.
Tapi tamparanku malam itu sama sekali tidak meredakan gejolak hatiku.

Comments

Popular Posts