Satu Laki-Laki Part 1

Prolog
Thesa menatap dengan mata nanar kedua orang di depannya sambil terus mendekap Lilla, adiknya. Air mata masih meninggalkan bekas di pipi dan matanya yang bulat. Lilla masih sesenggukan di dadanya. Napasnya sendiri berusaha ia tahan menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.
Ini sangat berbeda dengan waktu-waktu yang lalu. Thesa tahu ini puncaknya. Puncak dari segala yang dipendam di dalam hati. Terlalu lama hingga menjadi busuk dan meledak sampai seperti ini. Dan suara-suara itu mengandung kebencian. Mengandung ancaman dan kata-kata kasar. Thesa melahap semuanya. Menelannya mentah dan mengumpulkannya di dalam hati membentuk tekad yang bahkan tak bisa di belokkan lagi.
Thesa menangis lagi. Tetesannya pelan membasahi pipi dan hatinya. Sampai suatu ketika saat kepala ibunya membentur ke tembok memantul menyisakan darah di pelipis kiri, ayahnya berhenti lalu meninggalkan ruang keluarga berantakan dan vas bunga hancur sehancur hati ketiga perempuan yang seluruhnya menangis pedih di ruangan itu.
Satu laki-laki dan tiga wanita. Secara kuantitas menang namun menjadi pihak yang menderita. Thesa mengusap air matanya lalu menghampiri ibunya. Dengan penuh keyakinan, diambilnya pecahan vas bunga itu.
***
Thesa menghidupkan mesin Beat-nya. Sebelum berangkat kuliah pagi ini, dia sudah mencomot nasi putih hangat dengan ikan mujair yang disiapkan ibunya. Disampirkan sling bag buntut yang sudah ia miliki sejak SMA. “Lil, cepetan!” teriak Thesa ke dalam rumah mengajaknya berangkat ke sekolah. Setiap hari Thesa mengantar Lilla ke sekolah
“Iya.." Lilla dengan cepat melompat ke atas motor. “Lets Go!” teriaknya.
Thesa bersyukur Lilla tidak tumbuh sebagai anak perempuan yang menutup diri karena kehidupan mereka yang pas-pasan. Lilla termasuk anak yang sangat ceria dan banyak teman. Bergaul di ekskul Cheerleaders dan sering mengikuti perlombaan. Dan yang membuat Thesa terkadang bertanya-tanya kepada Lilla kenapa dia sangat disukai oleh cowok-cowok. Setiap malam minggu pasti ada saja yang ngapel ke rumah. Lilla mengangkat bahu.
Beat yang ia kendarai masuk ke pelataran parkir kampus. Dengan mata masih mengantuk, ia memarkirkan motor dan berlari masuk kelas. Ia tahu ia terlambat masuk kelas. Mulutnya komat-kamit memohon pada Tuhan agar dosennya kali ini tidak menghukumnya. Jelas akan bahaya kalau dia sampai mendapat hukuman membuat makalah sedangkan setiap malam dia harus kerja di Andragogy. Andragogy adalah cafe tempat dia bekerja sebagai waiterss. Kebetulan tempat ini milik teman kuliahnya, jadi akses untuk bekerja disini terbuka lebar.
Ketukan jari tangan Thesa terdengar tegas. Dan suara serak menyuruhnya masuk terdengar. Saat membuka pintu, seorang laki-laki tinggi sedang melipat tangan di dada menunggunya masuk. Laki-laki yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Memakai batik yang dipadupadankan dengan jeans belel. Mata Thesa melotot dan tertahan di kaki laki-laki yang mungkin masih berumur akhir dua puluhan itu. Dia memakai...
“Silahkan masuk. Saya baru memulai kuliah 20 menit yang lalu. Satu kali lagi anda terlambat, anda boleh kembali pulang untuk tidur.”
Alis Thesa berkerut terpaksa menatap mata laki-laki itu. Dipelototinya lekat sambil sesekali menatapnya dengan rasa penasaran.
“Alasan anda terlambat adalah bangun kesiangan kan?”
“Hah?” mata Thesa menyipit. “Maaf, Pak. Saya terlambat, lain kali tidak akan saya ulangi. Dan sekedar informasi, saya bangun jam 4 setiap hari.” Thesa bergegas menuju kursi kosong di sebelah Devia.
Devia tersenyum saat Thesa sudah berada di sebelahnya. “Kenapa lagi?” bisik Devia.
“Biasalah.”
“EHEMM!”
Kepala mereka berdua dengan cepat menoleh ke depan sampai rasanya bisa terpeluntir kalau tidak direm. Dosen muda itu masih terus menerangkan mata kuliah. Mata Thesa masih saja terpaku pada kaki dosen muda itu. Dia memakai sepatu kanvas converse warna putih bergaris. Aneh saja melihat dosen memakai sepatu converse. Sepatu yang Thesa anggap sebagai simbol kebebasan berekspresi milik anak muda serta simbol anti kemapanan dan anti birokrasi. Dosen yang aneh.
“Okeh. Sekarang keluarkan selembar kertas. Saya ingin mengukur kemampuan kalian dan pemahaman kalian untuk topik yang sudah saya jelaskan barusan.”
Mampus! Batin Thesa karena sejauh ini, Thesa tidak banyak mendengarkan kuliah hari ini, karena dia menghabiskan waktu 3 sks untuk melihat sepatu milik Pak Andrian. Dua puluh menit terakhir, Thesa dan Devia saling menatap pasrah. Thesa mengagumi sepatu Pak Andrian sedangkan Devia menatap kagum pada wajah putih Pak Andrian yang serius.

Comments

Popular Posts