SOS Day 28 : Rara Part 2
Rara masih malas bangun dari tempat
tidurnya. Dia mengangkat sedikit kepalanya dan melihat jam dinding. Matanya
belum bisa dibuka sepenuhnya.
“Ahhh.”
Dia menguap lebar. “Masih jam tiga pagi,” gumam Rara. Tapi, dia bangun dari
tempat tidurnya supaya bisa menyiapkan makan pagi untuk ayahnya. Rambutnya
berantakan tak karuan. Saat membuka pintu, Rara kaget setengah mati melihat
ayahnya mengepak baju-bajunya. Dan ada beberapa yang sudah terbungkus rapi di dalam
tas-tas besar di ruang tengah.
Dia
menghampiri ayahnya dengan tidak percaya. Beberapa menit dia tidak bisa berkata
apa-apa. “Ayah, mau kemana?” katanya membuka mulutnya.
“Ayah
ditugaskan di Padang,” jawabnya tanpa mengalihkan mata dari tumpukan baju di depannya.
Apa yang ayahnya pikirkan, meninggalkannya sendiri tanpa ada pemberitahuan dari
ayahnya sebelumnya. Penjelasan ayahnya seperti tinju yang dua kali lebih keras dari
tinju Iqbal kemarin. Dia bingung sekali dengan sikap ayahnya. ‘Apa ayah ingin
memberi kejutan?’ suara dalam benaknya. Dia mencoba menata suaranya agar tidak
terdengar ingin menangis mengingat fakta yang akan dia hadapi saat ayahnya
meninggalkannya sendiri.
Ayahnya
menghampiri dan mengelus rambutnya. Membuatnya tidak bisa menahan tangisnya
lagi. “Aku tahu kamu akan menghadapi ini lebih baik dari yang ayah bayangkan.”
Senyum ayahnya mengembang. Rara mengangguk berusaha tegar. “Maaf, Ra.” Rara
mengangguk sekali lagi. Berlalu begitu singkat dan meniggalkan tanda tanya
besar bagi Rara.
Rara
mengaduk-aduk mie instan yang sudah dua menit dia letakkan di atas kompor.
Sambil menerawang jauh lewat jendela dapur. Membayangkan ayahnya yang pergi
dengan minim penjelasan.
Jam
menunjukkan pukul 6, tapi Rara masih menghabiskan mie di depannya. Memakannya
dengan lahap. Dan cepat-cepat berangkat ke sekolah. Perasaannya saat ini tidak
jauh berbeda dengan pagi tadi. ‘Bagaimana kalau saat tidur ada pencuri masuk?’
keluhnya dalam hati. Dia baru turun dari mikrolet oranye tepat di depan
sekolah.
“Terserah!”
katanya kesal dan membuang muka ke lapangan basket sekolah dan terus berjalan
lebih cepat ke kelasnya.
“Apanya
yang terserah?” Rara sedikit kaget orang yang kemarin menjotosnya berbicara
dengannya.
“Bukan
apa-apa!” jawabnya marah tapi berusaha menyunggingkan senyum tipis untuk
menutupi kekesalan di hatinya.
“Ohhh,
ayolah!!” dengusnya tak kalah kesal dan melambaikan tangannya di udara. “Namamu
siapa?” tanyanya lagi tanpa dosa. Rara bertambah bingung, bagaimana dia akan
menjawab pertanyaannya tadi dan mengatakan apa yang dia pikirkan pada orang
yang bahkan tidak tahu namanya dan telah meninju lengannya.
“Rara,”
jawabnya singkat dengan ketus.
“Kamu
marah ya?” Tanyanya melihat wajah Rara yang matanya sedikit bengkak karena dua
hari berturut-turut menangis. Yang pertama karena lengannya dan yang kedua
karena ayahnya. Iqbal menatap lekat wajah Rara. Rara mencoba memalingkan muka
melihat sekelilingnya asal bukan cowok yang sekarang berada di depannya. Rara
malu.
“Kamu
abis nangis?” Iqbal tengah menunggu jawaban dari Rara dengan senyum dikulum.
Tapi, Rara tidak memperdulikannya. ‘Kekanak-kanakan sekali, mau mengejekku ya?’
batinnya. Iqbal tidak bergerak sedikit pun dari wajah Rara meskipun hanya satu
senti.
Rara
tidak mau terjebak dalam situasi yang membuat malu dan -tentu saja- salah tingkah.
Segera saja, dia berlalu dan berjalan ke kelasnya. Belum jauh dari tempatnya
semula. Rara merasa ada yang mencengkeram tangannya dan menariknya hingga
tubuhnya berbalik ke arah yang berlawanan.
“Ada
apa lagi?” tanya Rara kesal setelah melihat pelaku yang ternyata semua itu
adalah hasil perbuatan Iqbal. Tanpa menjawab pertanyaan Rara, Iqbal sudah
menggandeng tangannya dan menyeretnya ke tempat parkir.
Rara
terheran-heran dengan semua ini. ‘Apa sih maunya?’ batin Rara. Belum habis rasa
herannya, Iqbal tiba-tiba membukakan pintu mobil sedan warna silver di depannya.
Dia melongo. Dia sendiri ragu untuk masuk ke dalam. ‘Jangan-jangan dia mau membiusku,
memberi narkoba, dan.....,’ pikirnya berburuk sangka dan tidak mampu
melanjutkannya karena Rara ngeri membayangkannya. Dia masih menatap pintu itu
lalu menutupnya pelan.
Sampai
Iqbal masuk dan menyalakan mesin pun Rara tetap berdiri di luar. “Cepat masuk!!”
betak Iqbal lalu keluar dan membukakan pintu untuk Rara lagi. Rara tidak punya
plihan lain selain masuk menuruti perintah cowok aneh ini.
Mobil
itu sudah melaju kencang tak tahu kemana. Dia pasrah membolos karena itu mugkin
yang terbaik untuk dirinya disaat perasaannya sedang tidak enak dan dia tentu
menyadari kalau pikirannya tidak akan bisa menerima pelajaran dengan baik hari
ini. Tapi, dia tidak pasrah pada cowok seenaknya saja ini.
Comments
Post a Comment