SOS Day 27 : Rara Part 1

Rara menghembuskan nafas kesal. Di depan cermin terlihat pantulan wajahnya yang ditumbuhi dua jerawat. Di pipi sebelah kiri dan jidad. Tapi, buru-buru dia mencoba tersenyum dan tidak memperdulikan jerawat itu. ‘Toh jerawat gak lebih besar dari kancing seragamku,’ pikirnya. Dia menyisir rambutnya dengan asal lalu menyambar tas ransel buntutnya di atas meja belajar di sudut kamar. Ayahnya telah bersiap-siap pergi ke sekolah juga.
            “Rara bareng sama ayah?” Kata ayahnya sembari duduk di meja makan, menyendok sayur-masakan Rara.
            “Gak Yah, Rara mungkin berangkat agak pagian.” Dilihatnya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul  6. Ayahnya hanya mengangguk-anguk sambil menyendokkan nasi dan sayuran ke dalam mulutnya. Rara  kemudian duduk di sebelah ayahnya. Menuangkan segelas air putih dan meneguknya hingga habis.
            “Rara berangkat dulu, Yah!” Pamitnya, bangkit dari meja makan sambil mengambil sejumput mie goreng dan mencomotnya. Rara menyentuh punggung tangan ayahnya sekilas dengan pipinya sebelum dia meninggalkan ayahnya sendiri.
            Rara sudah duduk di dalam angkutan umum warna kuning ngejreng. Dulu, Rara berpikiran bahwa mikrolet ini adalah mikrolet paling norak yang pernah ada. Kalau dia bisa merubah apa saja, dia akan merubah warnanya jadi  ungu lembut. Pasti akan menarik banyak penumpang. Memang di daerah Rara angkutan umum dibedakan berdasarkan warna. Ada oranye, hijau, biru, yang semuanya berwarna tua. Dan tidak terkecuali semuanya norak!! Ada  beberapa yang bagus sih. Tapi, sampai sekarang pun dia merasa angkutan itu adalah angkutan paling norak yang pernah ada.
            “Kiri Pak!” Jawabnya cepat setelah pak supir mikrolet itu menanyakan apa ada yang turun di SMU Teladan. Dia segera bangkit membungkukkan torsonya dan berjalan mengendap-endap keluar dari mikrolet. Lalu,  dia menyerahkan  selembar uang seribuan pada supir.
            Rara memasuki kelas yang masih kosong, menguap lebar lalu mengambil buku pelajaran yang dia pinjam dari kakak kelasnya. Tidak banyak kakak kelas yang dia kenal. Menurut Rara, dirinya termasuk ukuran orang yang tidak akan menarik perhatian walaupun berada di atas panggung sekalipun dan tidak mungkin dia mau melakukannya, ada beberapa yang dia kenal baik, 1 sampai 3 orang. Itupun karena mereka kakak kelasnya waktu di SMP.
            Dia masih menekuni buku di depannya, mencoba memahami maksudnya. Beberapa menit, satu dua orang mulai berdatangan seiring dengan matahari yang mulai meninggi dan cahayanya merayap ke dalam ruangan menghangatkan seluruh sudut kelas.
            Rara Amelia, nama lengkapnya. Dia hanya gadis remaja yang dewasa di kota yang penuh dengan polusi. Dia gadis biasa, tingkat ekonomi biasa tapi dia memiliki otak yang luar biasa. Tidak dibayangkan olehnya sendiri saat dia merubah cara belajarnya dia menjadi lebih mudah mengingat apa yang dia pelajari. Padahal dulu waktu SMP dia tidak sepintar seperti sekarang. Menurutnya dia sama sekali tidak pintar.
            “Semua orang bisa jadi pintar kalau mereka mau.” Begitu katanya pada semua orang yang menanyakan perihal kepintarannya.
            Dia tidak mencolok diantara penghuni SMU Teladan. Rambutnya sebahu dengan kaca mata minus yang dia pakai setiap saat. Sebenarnya, dia gadis yang menarik dan cantik. Tapi butuh waktu beberapa menit untuk menyadari kecantikan yang dia miliki. Duduk dan mengobrol dengannya, itu adalah cara terbaik menyelami kecantikan yang ada padanya. Hanya saja dia begitu introvert. Sehingga orang tidak banyak mengobrol dengannya dan tahu tentangnya.
            Rara tetap saja membaca buku tebal di depannya bertuliskan Biologi SMU dan Latihan Soal-Soal Menghadapi UAN. Dia mendongak melihat beberapa orang yang sudah berada di kelas.
            Kriiiiingggg.....
            Bel masuk berbunyi kencang. Dia membenahi letak kacamatanya yang turun beberapa senti dari kedudukan semula dan menghela nafas berat, lalu menutup kedua buku yang tadi menyita seluruh konsentrasinya. Guru Biologi, Pak Didik tengah berdiri di ambang pintu padahal kelas masih agak kosong karena keterlambatan siswa.
            Rara tidak pernah habis pikir kenapa siswa yang terlambat tidak pernah habis. Apa mereka selalu keluar malam dan pulang pada waktu subuh setiap hari atau begadang nonton tv sehingga sulit bangun pagi? atau mungkin mereka membantu orang tua mereka bekerja sampai larut malam, menjaga toko mungkin atau mengerjakan tugas sekolah sampai pagi?
            Bahkan guru tata tertib pun tetap akan menghukum dan tidak percaya dengan berbagai macam alasan dari tersangka keterlambatan itu walaupun itu benar. Tapi, dia tidak tertarik untuk membuat sebuah penelitian tentang semua itu karena dia tahu ini Indonesia bukan Jerman atau Amerika. Dan kebiasaan itu sulit diubah.
            “Selamat pagi, hari ini ulangan!!!! Ini untuk mengetahui pemahaman kalian tentang pelajaran kemarin.” Pak Didik membuka paginya dengan dengusan kesal muridnya. Kelas 3 IPA 2 hari ini sunyi senyap, setiap murid berperang dengan otak mereka sendiri.
Rara sepertinya dengan lancar mengerjakannya. Meskipun ada beberapa yang dia lupa, misalnya tentang transkripsi RNA. Ini sesuatu yang simpel dan amat mudah tapi kalau sudah lupa mau bagaimana lagi.
            Diliriknya jam dinding di depan kelas. Waktu akan habis dua menit lagi, tanpa pikir panjang dia menjawab sekenanya yang muncul di otaknya..
            Kringgg.....
            Bel pelajaran Biologi berakhir. Semua gaduh mencari jawaban yang tepat dan berusaha memenuhi kertas ulangan dengan jawaban, entah itu benar atau salah. Saatnya, pindah ke kelas matematika, dia segera mengumpulkan kertas ulangannya dan segera mengemasi bukunya.
            Sekolah Rara termasuk sekolah unggulan yang menerapkan sistem moving class. Jadi, setiap pergantian jam pelajaran murid-murid harus pindah ke kelas yang sesuai dengan mata pelajaran masing-masing.
            “Bagaimana tadi ulanganmu?” tanya sebuah suara di belakangnya.
            “Ada beberapa yang lupa,” jawabnya singkat saja. Angkuh, itu yang pertama dikira orang saat baru mengenalnya.
            “Untung saja, tadi kamu contekin aku jawabannya,” tambahnya lagi. Rara mengangguk dan tersenyum. Rara selalu memberitahukan jawaban pada orang yang bertanya padanya. Tetapi, tidak lebih dari sepertiga jumlah soal. Karena dia  merasa, kalau ada teman yang tidak bisa, dia harus membantu. Mungkin saja teman yang dia bantu memang tidak bisa belajar karena suatu alasan. Bukan karena malas.
            “Makasih, Ra.”
            “Sama-sama, Din.” Rara tidak pernah dekat dengan temen sekelasnya. Mungkin sesekali mengobrol dengan beberapa dari mereka.
            Istirahat sudah lima menit berlalu, tapi Rara masih duduk di bangku kantin menikmati mie goreng dan es tehnya. Udara di kantin memang sejuk dipenuhi pohon-pohon tinggi. Tidak ada tempat yang begitu menyenangkan di sekolah setelah penatnya menghadapi pelajaran, selain di kantin.
            Dia terus melahap mienya, sesekali meneguk es teh yang terhidang di depannya. Agak cemas meninggalkan satu jam pelajaran matematika. Tapi, dia segera menepisnya ke tong sampah.
            “Nantang??!!! Bukan urusan kamu....” Kunyahan Rara berhenti, lalu melihat sekeliling, dia kaget sekali. Suara itu menggelegar.
            “Jelas ada hubungannya denganku!” Serang suara lain. Rara menemukan dua orang sedang menuding satu sama lain. Tidak lebih dari satu detik terjadi pemukulan diantara keduanya. Iqbal, anak kelas 2 IPA dan Bisma, mantan ketua tim pecinta alam. Rara  menelan  paksa mie yang dia hancurkan hanya dengan dua kunyahan itu dengan tegang. Mereka berada tidak jauh dari tempatnya berada.
            Rara tidak sanggup melihat mereka berdua seperti itu. Apalagi tidak ada murid lain selain dia. Hanya ada beberapa ibu kantin, itu pun tidak berani melerai mereka. Letak kantin berada di belakang, memang jauh dari gedung utama. Apalagi dari pos satpam.
            Mulut Bisma sudah berdarah dan seperti dibubuhi blush on merah ditambah eye shadow biru, hanya saja ini menghiasi sudut kanan bibirnya -bukan di tempat yang benar. Bisma tersungkur di bawah meja kantin.
Rara sudah tidak mampu lagi melihatnya. Kurang dari sedetik, seperti ada yang mendorong tubuhnya, dia menghalangi tinju yang ditujukan untuk Bisma dan tepat mengenai lengan Rara. Saat itu Rara sadar sekali, tapi dia menutup matanya dengan kencang karena tidak mampu melihat tinju Iqbal mendarat di lengannya.
            Dia merasa ini bukan dirinya. Tapi, mungkin ini lebih disebabkan oleh ketidakmampuannya melihat semua kekerasan di depan matanya. Dan dia merasakan sebuah kesalahan besar kalau hanya duduk diam menghabiskan mie gorengnya tanpa memperdulikan mereka. Jadi, dia tidak menyesal sedikit pun walau yang dialami sekarang sakit sekali.
            Lengan Rara nyeri sekali. Pukulan itu terlalu kuat untuk gadis sepertinya. Bokongnya juga sakit. Dia tadi terjerembab setelah menerima hantaman dari tinju Iqbal. Mereka berdua melongo, tak terkecuali ibu kantin yang menyaksikan kejadian itu.
            Mulut Iqbal menganga dan tidak percaya dengan semua yang baru saja dia lihat. Begitu juga dengan Bisma. Padahal Rara sempat berpikir kalau mereka kaget bukan dikarenakan kebodohannya menghalangi perkelahian. Tapi, lebih dikarenakan mereka tidak pernah melihat Rara sebelumnya dan mengira Rara dari sekolah lain. Jadi, perbuatan mereka akan tersebar seantero kota dan menyebarkan nama buruk sekolah.
Tidak ada yang membantu Rara berdiri saking kagetnya. Cepat-cepat Rara membersihkan roknya yang kotor sambil nyengir lebar.
            “Sorry...sorry,” kata Iqbal sambil melihat Rara dengan cemas. Saat itu mata Rara sudah berair dan siap meletus.
            “Tolong jangan berantem lagi. Semua masalah nggak bisa diselesaikan dengan itu,” balasnya cepat, lalu buru-buru dia menambahkan ”Meskipun itu emosi yang paling dalam.” Rara berlalu dengan terpincang-pincang.
Dia tidak duduk di kantin dan melanjutkan makan. Tapi, dia butuh dokter sekolah untuk menenangkan dirinya sendiri kalau lengannya tidak remuk. Ini hal yang sangat tidak mungkin bagi dirinya sendiri. ’MENGHENTIKAN ORANG BERKELAHI’ berulang kali dia mencoba mempercayainya..
            ‘Apa mereka berdua malah marah dan kesal karena perbuatanku tadi?’ tanyanya dalam hati.
            “Tidak mungkin,” jawabnya sendiri dengan yakin.
            “Apa??!!” Tanya dokter di depannya kaget. ”Apa kamu tidak percaya kalau lenganmu tidak apa-apa?” Rara cengar-cengir bingung mencari alasan yang tepat. Ketidakmungkinan itu membuat Rara sampai melamun dan tidak menggubriskan dokter sekolah yang sekarang tengah memeriksa lengannya lagi- ya, karena Rara tidak mampu mengatakan alasannya dan dokter merasa diragukan kemampuannya. Sampai dokter menekan lengannya lebih keras dan membuatnya menjerit kesakitan. Untuk kedua kalinya, dokter itu kaget melihat reaksinya yang tidak terduga.
            “Maaf....” Hanya itu yang mampu dia katakan. Beberapa orang di UKS itu melongokkan kepala mereka, cemas melihat Rara seakan-akan lengannya baru saja patah karena sentuhan kecil itu. Rara tersenyum dengan cengiran kuda sampai seluruh kepala itu telah lenyap di bantal masing-masing.
            Rara mendengus kesal saat melihat jam dinding masih pukul dua belas siang. Walaupun kurang satu jam bel pulang akan berbunyi, tapi itu terasa berjam-jam lamanya bagi Rara saat ini. Karena Rara bolos mata pelajaran matematika dan melakukan hal yang tidak seharusnya-makan di kantin. Ditambah lagi menggagalkan pertumpahan darah di sekolah dan membuat jantung dokter sekolah berdetak lebih cepat.
            ‘Ini sangat lucu,’ batinnya membayangkan dia di kursi penonton melihat tindakan bodoh yang dia lakukan sendiri tadi. Dia meringis kesakitan saat mencoba menekan tangannya. Ingin sekali dia berbaring di UKS tapi, selalu saja dari keempat ranjang yang disediakan tidak pernah sehari saja kosong. Sepertinya, kasur itu punya sesuatu yang dirindukan. Jadi, dia memutuskan untuk kembali ke kantin mencoba melemaskan saraf di seluruh tubuhnya yang kaku beberapa menit yang lalu.

Comments

Popular Posts